Hak Asasi Manusia
1. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat dalam diri manusia, yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau negara. Melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Hak-hak itu dimiliki manusia karena ia adalah manusia. Sejak manusia berada dalam rahim ibunya, ia telah memiliki hak-hak itu. Sejarah perjuangan dan kerjasama menegakkan hak asasi manusia :Perjuangan PBB, Pada tanggal 10 Desember 1948, PBB mengumumkan Universal Delaration of Human Right. Pada umumnya Deklarasi ini dilihat sebagai titik tolak untuk semua pemikiran dan rumusan lebih lanjut yang berhubungan dengan hak asasi manusia.
Tahun 1966 deklarasi tersebut dilengkapi dengan 2 penyataan yaitu :
- Perjanjian internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
- Perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan poliyik
- Tahun 1975 hak-hak asasi dirumuskan lagi secara khusus dalam persetujuan Helsinki
- Tahun 1981 diumumkan Piagam Afrika mengenai hak-hak manusia dan bangsa-bangsa.
Hak asasi manusia untuk pertama kalinya dirumuskan di Barat pada abad XVIII. Yang termasuk hak asasi digolongkan dalam 2 kelompok yaitu :
a. Hak-hak sipil dan politik lebih menyangkut hubungan warga negara dan pemerintahan, serta menjamin agar setiap warga memperolehkemerdekaan.
b. Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya lebih menyangkut hidup kemasyarakatan dalam arti luas dan menjamin agar orang dapat mempertahankan kemerdekaan.
Pandangan Gereja tentang HAM
Apa yang telah dikatakan oleh Tuhan kepada Musa terulang dalam seluruh sejarah keselamatan : “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku dan Aku akan mendengarkan seruan mereka, ya Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka …” (Kel. 3:7-8).
Dalam Yes 10:1-2 dibaca ancaman ini : Celakalah mereka yang menentukan ketetapan-ketetapan yang tidak adil dan mengeluarkan keputusan-keputusan kelaliman, untuk menghalang-halangi orang lemah mendapat keadilan dan untuk merebut hak orang-orang sengsara di antara umat-Ku, supaya dapat mermpas milik janda-janda dan dapat menjarah anak-anak yatim.
Piagam PBB tentang hak asasi manusia dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 945 di Paris dalam Mukamadimahnya antara lain dikatakan : menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama danmutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian di dunia.
Ajaran Sosial Gereja mengaskan : Karena semua manusia mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta karena penebusan Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, serta karena penebusan Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, serta karen penebusan Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan asasi antara sesama manusia harus senantiasa diakui (Gaudium et Spes, artikel 29).
Perjuangan Gereja
- Ensiklik Master et Magistra (1961) dan Pacem in Terris (1963 mulai bicara tentang hak-hak asasi manusia.
- Konsili Vatikan II (1962-1965) berbicara masalah hak asasi manusia terutama dalam konstitusi Gaudium et Spes dan Dignitatis Humanae.
- Tahun 1974 panitia kepausan “Yustita et Pax” menerbitkan sebuah kertas kerja “Gereja dan hak-hak asasi manusia”
- Komisi Teologi Internasional mengeluarkan sejumlah tesis mengenai martabat dan hak-hak pribadi manusia.
Perjuangan hak asasi manusia di Indonesia
Indonesia pernah mengalami masa kelabu, terlebih pada masa rezim Orde Baru, dalam hubungannya dengan hak asasi manusia. aKaum miskin atau rakyat jelata dan kaum perempuan (anak-anak) adalah kelompok-kelompok lemah yang sering tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai. Lembaga-lembaga yang diharapkan mampu membela kaum lemah ini misalnya Komisi HAM. Akar dari semua persoalan ini adalah struktur dan sistem kemasyarakatan yang tidak adil, dimana orang yang kaya dan kuat akan semakin kaya dan kuat, sedangkan yang lemah dan miskin akan semakin lemah, dan miskin.
1. Pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia :
1) Pelanggaran Hak Asasi di Indonesia, pelanggaran hak asasi di Indonesia telah berjalan cukup lama yakni sejak jaman feodal, kemudian jaman kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, dan masih disambung pada jaman Demokrasi terpimpin dan Orde Baru.
2) Pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang miskin. Miskin di sini bukan berarti yang tidak dapat makanan maupun dalam rangka mencukupi kebutuhan sehari-hari, melainkan bagi mereka yang tidak pernah mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapat dalam pengambilan keputusan, namun juga mereka yang miskin secara ekonomi seolah-olah keberadaannya tanpa diperhitungkan.
3) Pelanggaran hak asasi terhadap kaum perempuan
Bentuk-bentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan antara lain :
- Kaum permepuan kurang mendapat tempat dan peran di lembaga-lembaga negara, seperti lembaga eksekutif dan legislatif.
- Diskriminasi undang-undang atau peraturan terhadap permepuan lebih-lebih di perusahaan-perusahaan, misalnya masalah gaji lebih rendah daripada pria meskipun pekerjaannya sama.
- Wanita karier sering harus bekerj rangkap, di tempat kerja dan di rumah.
- Perempuan sering digunakan sebagai sumber devisa sebagai TKW, tetapi sering tanpa perlindungan hukum.
- Perempuan dan anak-anak sering diperdagangkan dan dijadikan wanita tunasusila/pelacur.
Sebab terdalam terjadinya pelanggaran HAM
Terjadinya ketidakadilan dan pelanggaran HAM sering disebabkan oleh struktur kemasyarakatan yang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang. Mayoritas bangsa Indonesia berada dalam keadaan terjepit danmenjadi bulan-bulanan kaum penguasa dan kaum kaya. Sistem sosial, politik dan ekonomi yang disusun penguasa dan penguasa menciptakan ketergantungan rakyat jelata kepadanya, sehingga mereka dapat bertindak sewenang-wenang.
2. Bekerja Sama secara Aktif dalam Menegakkan Hak Asasi Manusia
Usaha untuk menegakkan HAM di Indonesia :
- Dari pihak Pemerintah
Sejak memasuki era reformasi, kita mengalami situasi yang lebih bebas dibandingkan masa Orde Baru
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komas HAM)
Lembaga ini sudah lebih berfungsi daripada masa rezim Orde Baru
- Gereja
Sepanjang sejarahnya, Gereja dengan berbagai cara telah memperjuangkan nasib orang-orang miskin, meskipun tidak selalu tepat dalam cara dan waktunya.
Kekerasan yang terjadi di negeri kita ini menunjukkan rupa-rupa dimensi dan rupa-rupa wajah. Ada kekerasan yang berdimensi fisik maupun psikologis. Sepanjang sejarahnya Gereja dengan berbagai macam cara telah memperjuangkan nasib orang-orang miskin, walaupun tidak selalu tepat dalam cara dan waktunya. Ensiklik-ensiklik para Paus merupakan acuan pertama bagi ajaran sosial gereja untuk memperjuangkan kaum miskin. Di samping ensiklik-ensiklik dan ada pernyataan dari konferensi-konferensi para uskup yang membahas tentang pewartaan iman untuk menanggapi tantangan kemasyrakatan dan politik dalam hubungannya dengan rakyat miskin. Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dalam banyak surat gembalanya menyerukan supaya hak-hak rakyat kecil diperhatikan dan ditegakkan. KWI selalu berpegang teguh pada ajaran sosial Gereja. Gereja mendesak diatasinya dan dihapuskannya “Setiap bentuk diskriminasi, entah yang bersifat sosial atau kebudayaan, entah yang didasarkan pada jenis kelamin, warna kulit, suku, keadaan sosial, bahasa ataupun agama, karena berlawanan dengan maksud dan kehendak Allah” (Gaudium et Spes, Art 29).
KWI dan hampir di setiap keuskupan membentuk lembaga yang antara lain memperjuangkan hak asasi manusia dari rakyat kecil, misalnya :
1. Komisis Keadilan dan perdamaian
2. Komisis Migran
3. Komisi Hubungan antar Agama
4. Jaringan Mitra Perempuan
5. Crisis Center
Lembaga tersebut telah bekerja keras secara aktif dalam rangka menegakkan HAM, antara lain :
- Mengadakan pendidikan dan pelatihan tentang HAM kepada para fasilitator dan masyarakat luas supaya mereka mengetahui dan menyadari akan hak-haknya dan kemudian terlibat untuk turut memperjuangkan haknya.
- Mengadakan berbagai lembaga advoasi untuk membela hak-hak rakyat
- Memperluas jaringan kerjasama dengan pihak mana saja untuk memperjuangkan HAM.
3. Usaha Melawan Kekerasan dengan Budaya Kasih
Mengembangkan budaya kasih untuk melawan budaya kekerasan memang tidak mudah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita merasa betapa sulitnya untuk berbuat baik dan mencintai orang yang membuat kita sakit hati.
Gereja jelas menolak setiap tindakan kekerasan seperti yang telah diajarkandan dihayati oleh Yesus Kristus. Gereja berusaha sedapat mungkin untuk mengatasi kekerasan antara lain mengembangkan suatu pastoran “mengelola konflik” supaya dapat tercipta suatu budaya non violence, budaya kasih dimana manusia dapat mengalami persaudaraan sejati. Rupa-rupa dimensi kekerasan :
a. Kekerasan psikologi misalnya kebohongan sistematis, indoktrinasi, teror-teror berkala, ancaman-ancaman langsung atau tidak langsung yang melahirkan ketakutan dan rasa tidak aman.
b. Kekerasan lewat imbalan yaitu seseorang dipengaruhi dengan pemberian imbalan
c. Kekerasan tidak langsung misalnya melempar batu di rumah orang dan uji coba bom
d. Kekerasan tersamar yaitu kekerasan yang tidak ada pelakunya yaitu “Ketidakadilan sosial”
e. Kekerasan tidak sengaja atau kata lainnya adalah kekerasan struktural
f. Kekerasan tersembunyi (Laten) yaitu suatu sistem-sistem yang mengendalikan dan membelenggu kehidupan banyak orang seperti feodalisme, fundamentalisme dan fanatisme.
Wajah-wajah kekerasan
1. Kekerasan sosial adalah situasi diskriminatif yang mengucilkan sekelompok orang agar tanah atau hak milik mereka dapat dijarah dengan alasan “Pembangunan Negara”.
2. Kekerasan kultural yaitu ketika ada pelecehan, penghancuran nilai-nilai budaya minoritas demi hegemoni penguasa.
3. Kekerasan etnis berupa pengusiran atau pembersihan sebuah etnis karena ada ketakutan menjadi bahaya atau ancaman bagi kelompok tertentu.
4. Kekerasan keagamaan yaitu fanatisme, fundamentalisme, dan eksklusivisme yang melihat agama lain sebagai musuh.
5. Kekerasan gender yaitu situasi dimana hak-hak perempuan dilecehkan.
6. Kekerasan politik adalah kekerasan yang terjadi dengan paradigma “politik adalah panglima”
7. Kekerasan militer yaitu kekerasan terjadi karena militerisasi semua bidang kehidupan masyarakat.
8. Kekerasan terhadap anak-anak di bawah umur dipaksa untuk bekerja
9. Kekerasan ekonomis yaitu ekonomi pasar bebas dan bukan pasar adil dan telah membawa kesengsaraan bagi rakyat miskin.
10. Kekerasan lingkungan hidup yaitu sebuah sikap dan tindakan yang melihat dunia dengan sebuah tafsiran eksploitatif.
Usaha-usaha membangun budaya kasih sebelum terjadi konflik yaitu :
a. Dialog dankomunikasi
b. Kerjasama atau membentuk jaringan lintas batas
Usaha-usaha membangun budaya kasih setelah terjadi konflik yaitu :
a. Konflik atau kekerasan itu perlu diceritakan kembali
b. Mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan
c. Pengampunan oleh korban
d. rekonsiliasi
Akar dari konlik dan kekerasan menurut analisis “teori konflik” menemukan alasan kekerasan pada berbagai bentuk “perbedaan kepentingan” kelompok-kelompok masyarakat sehingga kelompok yang satu ingin menguasai kelompok yang lain.
Hak-Hak Asasi Manusia dalam terang Kitab Suci dan Ajaran Gereja
Hak-Hak Asasi Manusia dalam terang Kitab Suci dan Ajaran Gereja
Nilai-nilai dasar martabat manusia
berkaitan erat dengan perjuangan hak-hak asasi manusia. Perjuangan
hak-hak asasi muncul dari pengalaman umat manusia atas sejarah
penderitaan kurban-kurban manusia yang tak terbilang jumlahnya. Dari
sana timbul hasrat kuat bersama untuk menghentikan segala pemerkosaan
martabat manusia. Hasrat itu menyatakan dengan tegas: orang harus
menjamin dan membela hak-hak asasi manusia, dan jangan merampasnya.
Pemahaman tentang Hak Asasi Manusia
Ajaran sosial Gereja menegaskan: “karena
semua manusia mempunyai jiwa berbudi dan diciptakan menurut citra Allah,
karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta – karena penebusan
Kristus – mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan
asasi antara manusia harus senantiasa diakui” (GS 29). Dari ajaran di
atas tampak pandangan Gereja tentang hak asasi, yakni hak yang melekat
pada diri manusia sebagai insan, ciptaan Allah. Hak ini tidak diberikan
kepada seseorang karena kedudukan, pangkat, atau situasi; hak ini
dimiliki setiap orang sejak lahir, karena dia seorang manusia. Hak ini
bersifat asasi bagi manusia, karena kalau hak ini diambil, ia tidak
dapat hidup sebagai manusia lagi. Oleh karena itu, hak asasi manusia
merupakan tolok ukur dan pedoman yang tidak dapat diganggu-gugat dan
harus ditempatkan di atas segala aturan hukum. Gereja mendesak
diatasinya dan dihapuskannya “setiap bentuk diskriminasi, entah yang
bersifat sosial atau kebudayaan, entah yang didasarkan pada jenis
kelamin, warna kulit, suku, keadaan sosial, bahasa ataupun agama …
karena berlawanan dengan maksud dan kehendak Allah” (GS 29).
Perumusan Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi merupakan hak yang
universal, artinya hak-hak itu menyangkut semua orang, berlaku dan harus
diberlakukan di mana-mana. Memang benar bahwa perumusan hak-hak asasi
tidak pernah lepas dari konteks kultural tertentu. Hak-hak asasi manusia
untuk pertama kalinya dirumuskan di Barat, di dalam suasana liberal
abad ke-18. Bahasa liberal itu masih sering terasa dalam
perumusan-perumusan itu.
Rumus pernyataan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 (Universal Declaration of Human Rights) pada umumnya dilihat sebagai titik tolak untuk semua pemikiran dan rumus lebih lanjut. Pernyataan PBB itu pada tahun 1966 dilengkapi dengan dua pernyataan khusus supaya hak-hak asasi mendapat kekuatan yang mengikat: Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Hak-hak asasi dirumuskan lagi secara khusus dalam Persetujuan Helsinki (1975); Piagam Afrika mengenai Hak-hah Manusia dan Bangsa-bangsa (1981); Deklarasi Kairo mengenai Hak-hak Manusia dalam Islam (1990). Semua pernyataan ini memang merupakan ikatan moral-politik namun belum dapat dipandang sebagai hukum bangsa-bangsa dalam arti ketat, Setiap negara harus merumuskan hak-hak asasi ini secara konkret dalam undang-undangnya sendiri.Di Indonesia masalah hak asasi manusia dibahas dalam forum umum menjelang perumusan tiga UUD (1945, 1949, 1950), pada sidang Konstituante pada tahun 1956-1959 dan pada masa penegakan Orde Baru (1968). Dalam UUD 45 hak-hak asasi tercatat terutama dalam pasal 27-31. Sejauh mana suatu instansi internasional mempunyai hak mengawasi pelaksanaan hak-hak itu, tidak jelas (berhubung dengan kedaulatan setiap negara, yang juga merupakan hak asasi), Untuk itu didirikan oleh PBB Panitia Hak-Hak Manusia.Dari pihak Gereja, ensiklik Yohanes XXIII Mater et Magistra (15 Mei 1961) dan terutama Pacem in Terris (11 April 1963) untuk pertama kali merumuskan hak-hak asasi. Kemudian Konsili Vatikan II (1962-1965) berulang kali berbicara mengenai hak-hak asasi manusia, terutama di dalam konstitusi. Gaudium et Spes dan deklarasi Dignitatis Humanae (mengenai kebebasan beragama). Paulus VI dalam ensikliknya Populorum Progressio (26 Maret 1967) meneruskan pandangan Paus Yohanes. Pada 10 Desember 1974 panitia kepausan “Justitia et Pax” menerbitkan sebuah kertas-kerja “Gereja dan Hak-hak Asasi Manusia” sebagai pedoman untuk komisi-komisi nasional. Komisi Teologis Internasional juga mengeluarkan sejumlah “Tesis mengenai Martabat serta Hak-hak Pribadi Manusia” (6 Oktober 1984). Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Sollicitudo Rei Socialis, menjelaskan usaha perkembangan pertama-tama sebagai penegakan hak-hak asasi, dan Centesimus Annus menyebutnya sebagai dasar demokrasi.
Keterbatasan perumusan hak-hak asasi
manusia dalam konteks kebudayaan tertentu tidak berarti menolak sifat
universalnya. Bahwasanya rumus dan pengertian hak asasi ditentukan oleh
lingkup kebudayaan, seharusnya membuat orang makin peka, agar jangan
sampai ada penderitaan sesama yang tidak diperhatikan dan jangan sampai
ada hak seseorang yang dilanggar. Menolak sifat universal hak-hak asasi
manusia berarti menyangkal unsur manusiawi yang terdapat dalam setiap
kebudayaan, dan yang dapat dijembatani melalui komunikasi lintas budaya.
Jeritan penderitaan dari sekelompok orang atau dari bangsa tertentu
adalah jeritan universal kepada semua orang. Orang yang peduli akan hak
asasi, akan merasa wajib menyuarakan jeritan orang-orang yang tidak
berdaya itu. Dalam arti itu, hak-hak asasi manusia merupakan tuntutan
universal. Hanya orang atau bangsa yang, karena kepentingan politis
ataupun ekonomis, tidak segan-segan mengurbankan orang atau bangsa lain,
akan berpandangan bahwa jeritan hak asasi tidak bersifat universal.
Apa yang termasuk hak -hak asasi dapat
digolongkan dalam dua kelompok: (1) hak-hak sipil dan politik dan (2)
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak sipil dan politik lebih
menyangkut hubungan warga negara dan pemerintahan, serta menjamin agar
setiap warga memperoleh kemerdekaan. Hak-hak ini meliputi: hak atas
hidup, hak kebebasan berpikir dan hak kebebasan menyatakan pendapat, hak
kebebasan hati-nurani dan agama, serta hak kebebasan berkumpul atau
berserikat; hak atas kebebasan dan keamanan dirinya; hak atas kesamaan
di depan hukum dan hak atas perlindungan hukum di hadapan pengadilan
(dalam hal penangkapan, penggeledahan, penahanan, penganiayaan, dan
sebagainya); hak atas partisipasi dalam pemerintahan (berpolitik), dan
lain-lain. Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya lebih menyangkut hidup
kemasyarakatan dalam arti luas dan menjamin agar orang dapat
mempertahankan kemerdekaan. Hak-hak itu meliputi: hak mendirikan
keluarga serta hak atas kerja, hak atas pendidikan, hak atas tingkat
kehidupan yang layak bagi dirinya sendiri dan keluarga, dan hak atas
jaminan waktu sakit dan di hari tua, Ada pula hak atas lingkungan hidup
yang sehat serta hak para bangsa atas perdamaian dan perkembangan.
Hak Asasi Manusia dalam Terang Injil
Injil menerangi manusia, agar manusia
dapat meraih tujuan hidupnya dan mengenal jalan yang membawanya kepada
tujuan itu. Dilihat dari terang Injil, manusia terpanggil dan wajib
mengusahakan apa yang sedang bergerak di dunia sebagai gerakan hak-hak
asasi manusia. Dalam terang Injil dilihat bahwa manusia, yang diakui dan
dipanggil Tuhan sebagai sahabat-Nya, hanya dapat menjawab panggilan
Tuhan itu dalam solidaritas. Sebab “tidak ada orang Yahudi atau orang
Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau
perempuan, tetapi semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28).
Salah satu pengalaman umat Allah
Perjanjian Lama yang sangat menentukan sejarah selanjutnya adalah
pengalaman pembebasan ketika martabat manusia mereka yang diinjak-injak
ditegakkan kembali, ketika hak-hak asasi yang dirampas dikembalikan
lagi.
“Bapa kami pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan tinggal di sana sebagai orang asing. Tetapi di sana ia menjadi suatu bangsa yang besar, kuat, dan banyak jumlahnya. Ketika orang Mesir menganiaya dan menindas kami dan menyuruh kami melakukan pekerjaan yang berat, maka kami berseru kepada Tuhan, Allah nenek moyang kami, Lalu Tuhan mendengar suara kami dan melihat kesengsaraan dan kesukaran kami dan penindasan terhadap kami, Lalu Tuhan membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung, dengan kedahsyatan yang besar dan dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizat, Ia membawa kami ke tempat ini (tanah Kanaan) dan memberikan kepada kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madu.” (Ul 26:5-9)
Sejak itu sejarah keselamatan adalah
sejarah pembebasan, di dalamnya terlihat perhatian khusus Tuhan akan
kaum miskin dan yang tertindas. Apa yang dikatakan Tuhan kepada Musa
terulang dalam seluruh sejarah keselamatan: “Aku telah memperhatikan
dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku, dan Aku telah mendengar seruan
mereka, ya Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu Aku telah turun
untuk melepaskan mereka” (Kel 3:7-8). Memang, “Tuhan mendengarkan
orang-orang miskin, dan tidak memandang hina orang-orang-Nya dalam
tahanan” (Mzm 69:34). Orang miskin dan yang tak berdaya mendapat
perhatian khusus dari Tuhan. Maka perlu diingat: hak-hak asasi
pertama-tama harus diperjuangkan untuk orang yang lemah, yang tidak
berdaya dalam masyarakat. Dasar perjuangan itu adalah tindakan Tuhan
sendiri yang melindungi orang yang tidak mempunyai hak dan kekuatan,
Maka “hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati”
(Luk 6:36). Dalam Yes 10:1-2 dibaca ancaman ini: “Celakalah mereka yang
menentukan ketetapan-ketetapan yang tidak adil, dan mengeluarkan
keputusan-keputusan kelaliman, untuk menghalang-halangi orang lemah
mendapat keadilan, dan untuk merebut hak orang-orang sengsara di antara
umat-Ku, supaya dapat merampas milik janda-janda dan dapat menjarah
anak-anak yatim”.
Kitab Suci mengajarkan bahwa “Allah
membuat manusia menurut citra-Nya sendiri” (Kej 9:6). Maksudnya,
“kepadanya dikenakan kekuatan yang serupa dengan kekuatan Tuhan sendiri,
agar manusia merajai binatang dan unggas” (Sir 17:3-4). Manusia
diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang berdaulat, dan semua hak manusia
adalah hak mengembangkan diri sebagai citra Allah. Hak manusia
dilindungi Tuhan, terutama bila ia sendiri tidak mampu membela diri.
Bahkan di tempat manusia kehilangan haknya, karena kesalahan dan dosanya
sendiri, di sana Tuhan tetap membela dan melindunginya: “ … apa yang
lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat; dan apa
yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah; bahkan
apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan yang berarti,
supaya jangan ada orang yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1Kor
1:27-29). Kasih Tuhan senantiasa menjadi dasar terdalam hak asasi
manusia. Memang hak-hak asasi dirumuskan pertama-tama dalam alam pikir
filsafat mengenai martabat luhur manusia. Selanjutnya hak-hak asasi itu
diperjuangkan dalam pembelaan kaum tertindas dan oleh bangsa-bangsa yang
mencari kemerdekaan. Semua perjuangan itu merupakan langkah-langkah
dalam sejarah Allah bersama manusia yang malang dan miskin. Oleh
karenanya, orang beriman tidak boleh absen dari perjuangan itu.
Perjuangan Menegakkan Hak Asasi Manusia
Adalah “tugas-kewajiban semua orang
beriman melibatkan diri dalam pembelaan hak-hak asasi manusia” (Sinode
Para Uskup, 1987), khususnya dalam pelaksanaannya yang konkret. “Gereja
menerima dari Kristus tugas-perutusan untuk mewartakan amanat Injil.
Itulah sebabnya mengapa Gereja mempunyai hak, bahkan kewajiban, untuk
memaklumkan keadilan pada tingkat lokal, nasional, dan internasional,
serta mencela ketidakadilan, apabila itu dituntut oleh hak-hak asasi
manusia serta pelestariannya. Sebagai persekutuan keagamaan yang
hierarkis, Gereja memang tidak mempunyai tugas menyumbangkan pemecahan
konkret dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik untuk keadilan di
dunia. Tetapi Gereja tetap bertugas membela dan memajukan martabat dan
hak-hak asasi pribadi manusia” (Sinode Para Uskup, 1971; lih. KHK kan,
747 § 2). Dan itu berarti bahwa Gereja berhak “memberi pertimbangan
moral, juga dalam hal-hal yang menyangkut bidang politik, apabila hal
itu dituntut oleh hak-hak asasi manusia atau keselamatan jiwa-jiwa” (GS
76). Untuk itu perlu refleksi atas situasi kehidupan yang konkret
berdasarkan pedoman-pedoman yang diberikan oleh Gereja. Di sana terjadi
perjumpaan iman dan rasio, Perjumpaan itu merupakan upaya menciptakan
situasi hidup, yang memungkinkan pribadi manusia berkembang sesuai
dengan panggilannya tanpa pemaksaan pendapat Gereja terhadapnya.
Tugas ini dilaksanakan oleh Gereja dengan
aneka cara. Pertama-tama, Gereja hendaknya mawas diri dan mencoba
menegakkan hak-hak asasi manusia di kalangannya sendiri. Kalau tidak ada
keadilan di lingkungan Gereja sendiri, maka Gereja – baik imam maupun
awam – tidak berhak berbicara mengenai keadilan. Selanjutnya Gereja juga
tidak berhak berbicara, kalau orang Katolik sendiri tidak sungguh
terlibat dalam perjuangan bangsa di segala bidang pembangunan. Tidak ada
keadilan tanpa perjuangan. Dalam usaha memperjuangkan keadilan, kaum
beriman dapat memperoleh pedoman dan dukungan dari ajaran sosial Gereja.
Tetapi pengarahan umum itu belum menjamin, sejauh belum ada kaidah
tindakan menanggapi situasi yang konkret. Untuk membentuk kaidah-kaidah
itu, perlu ada pengamatan cermat atas kehidupan sosial di lingkungan
konkret (analisis sosial). Jadi, guna membela hak-hak asasi manusia,
masih harus dicari cara-cara rasional, perumusan yang tepat, dan
perencanaan bagi tindakan yang efektif. Dalam hal ini Gereja seluruhnya
harus berjuang, tetapi semua anggota, imam dan awam, mengambil bagian
menurut tempat dan panggilannya masing-masing.
Di dalam semua kegiatan konkret itu,
perhatian Gereja seharusnya menjadi “tanda dan pelindung martabat luhur
pribadi manusia” (GS 76). Hak-hak asasi dan semua tata hukum lainnya
hanya akan terlaksana, kalau dalam masyarakat ada kesadaran etis yang
mengikat. Maka tidak cukup bila Gereja hanya menyumbangkan kritik dan
celaan. Gereja masih harus berusaha membangun keterpaduan
antar-warga-masyarakat dalam semangat cinta-kasih dan perdamaian.
Menegakkan keterpaduan dalam masyarakat merupakan sumbangan khas
kelompok-kelompok agama. Bersama dengan orang beragama lain, umat
Kristen harus memperjuangkan keadilan dalam persaudaraan dengan semua
orang.
Apa itu Euthanasia / Mercy
Killing ?
Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία
-ευ, eu yang artinya “baik”, dan θάνατος, thanatos yang
berarti kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui
cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit
yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang
mematikan.
Euthanasia ditinjau dari sudut cara
pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara
pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eutanasia
agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
- Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
- Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
- Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Euthanasia ditinjau dari sudut
pemberian izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin
maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
- Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
- Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
- Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
Euthanasia ditinjau dari sudut
tujuan
Beberapa tujuan pokok dari
dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
- Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
- Eutanasia hewan
- Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela
Euthanasia menurut hukum di
Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka
eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat
pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa “Barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya
12 tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340,
345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam
perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di
negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Pasal-pasal dalam KUHP terkait
dengan euthanasia
1) Pasal 338 KUHP
Barang siapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
2) Pasal 340 KUHP
Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
3) Pasal 344 KUHP
Barang siapa merampas nyawa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan
hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
4) Pasal 345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja
mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalm perbuatan itu atau
member sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
5) Pasal 359 KUHP
Barang siapa dengan kesalahannya
(kealpaan) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
No comments:
Post a Comment