Hidup manusia adalah dasar segala nilai sekaligus sumber dan persyaratan yang perlu bagi semua kegiatan manusia dan untuk hidup bersama masyarakat. Hidup manusia sebagai sesuatu yang sakral. Bentuk penghargaan terhadap hidup menjadi salah satu wujud dari nilai-nilai penegakan HAM.
Sebagai orang Kristiani, kita percaya bahwa manusia mempunyai nilai tak terhingga karena diciptakan Allah. Anugerah kasih Allah bagi setiap orang merupakan kasih yang paling besar dibandingkan dengan apapun juga. Setiap orang harus menjalani hidupnya menurut rencana Allah. Hidup ini dipercayakan Allah kepada manusia sebagai suatu anugerah untuk dikelola dan dikembangkan agar menghasilkan buah. Hidup setiap orang harus dipelihara dengan kasih, dan tidak boleh dimusnahkan dengan kekerasan, tidak boleh dibahayakan, dan tidak boleh diancam, sebab setiap orang adalah anak Allah. Namun demikian muncul gejala-gejala dalam masyarakat yang menunjukkan bahwa hidup/nyawa manusia tidak dihargai. Nyawa manusia sering dipertaruhkan, demi uang, materi dan kedudukan. Gejala-gejala tidak menghormati hidup manusia dapat muncul dalam berbagai bentuk, antara lain; budaya kekerasan, aborsi, bunuh diri dan hukuman mati, euthanasia, tindakan yang membahayakan kehidupan manusia, tindakan yang menekan hidup manusia. Banyak alasan mengapa terjad tindakan-tindakan kekerasan dan tidak menghormati hidup.
A. Budaya Kekerasan dan Budaya Kasih
Salah satu bentuk kurangnya penghargaan terhadap hidup adalah budaya kekerasan.
1. Rupa-rupa dimensi Kekerasan
Rupa-rupa dimensi kekerasan yang sering kali terjadi dalam hidup manusia adalah kekerasan psikologis, kekerasan lewat imbalan, kekerasan tak langsung, kekerasan tersamar, kekerasan tidak disengaja, dan kekerasan tersebunyi.
2. Bentuk-bentuk Kekerasan
Enam dimensi kekerasan di atas dapat kita lihat dalam bentuk-bentuk kekerasan yang sering kali muncul dalam frekuensi yang makin meningkat di Indonesia. Bentuk-bentuk kekerasan tidak hanya ditemukan di wilayah yang masuk dalam kategori “high conflict area”, melainkan juga ditemukan di wilayah-wilayah yang dikenal sebagai “non conflict area”. Konflik dan kekarasan yang muncul di Indonesia adalah sebagai berikut; Kekerasan sosial, kekerasan kultural, kekerasan etnis, kekerasan agama, kekerasan gender, kekerasan politik, kekerasan militer, kekerasan terhadap anak-anak, kekerasan ekonomis, kekerasan lingkungan hidup.
3. Akar dari Konflik dan Kekerasan
Kekerasan yang muncul disebabkan karena munculnya akar masalah yang menjadi dasar dan alasan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi. Perbedaan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat, sehingga kelompok yang satu ingin menguasai kelompok yang lainnya. Pendapat lain mengatakan, bahwa hampir semua konflik yang muncul di Indonesia di sebabkan oleh disfungsi sejumlah institusi sosial, terutama lembaga polotik. Sehingga dapat dikatakan bahwa negara gagal menerapkan sebuah politik yang menunjang integritas Indonesia sebagai satu bangsa.
4. Mengembangkan Budaya Non-Violence dan Budaya Kasih.
Kiranya bagi masyarakat menjadi jelas bahwa konflik dan kekerasan yang sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan. Untuk mengatasi konflik dan kekerasan, kita dapat mencoba usaha-ucaha preventif dan usaha-usaha mengelola konflik dan kekerasan, jika konflik dan kekerasan sudah terjadi.
a. Usaha-usaha Membangun Budaya Kasih sebelum Terjadi Konflik dan Kekerasan
Banyak konflik dan kekerasan terjadi karena terdorong oleh kepentingan tertentu. Fanatisme kelompok sering disebabkan oleh kekurangan pengetahuan dan merasa diri terancam oleh kelompok lain. Untuk itu perlu diusahakan beberapa hal.
1). Dialog dan komunikasi.
2). Kerja sama atau membentuk jaringan lintas batas untuk memperjuangkan kepentingan umum.
b. Usaha-usaha Membangun Budaya Kasih Sesudah Terjadi Konflik dan Kekerasan
Usaha untuk membangun budaya kasih sesudah terjadi konflik dan kekerasan sering disebut “pengelolaan atau managemen konflik dan kekerasan”. Ada tahapan-tahapan yang dapat dilakukan
1). Langkah Pertama; konflik atau kekerasan itu perlu diceritakan kembali oleh yang menderita. Kekerasan bukanlah sesuatu yang abstrak atau interpersolal melainkan personal, pribadi, maka perlu dikisahkan kembali.
2). Langkah Kedua; Mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pohak atau kelomppok yang melakukan kekerasan atau menjadi penyebab konflik dan kekerasan. Pengakuan ini harus dilakukan secara publik dan terbuka, sebuah pengakuan jujur tanpa mekanisme bela diri.
3). Langkah Ketiga; Pengampunan dari korban kepada yang kelakukan kekerasan.
4). Langkah Keempat; Rekonsiliasi.
B. Aborsi
Mengapa aborsi itu dosa. Gereja Katolik ‘pro- life‘ karena Tuhan mengajarkan kepada kita untuk menghargai kehidupan, yang diperoleh manusia sejak masa konsepsi (pembuahan) antara sel sperma dan sel telur. Kehidupan manusia terbentuk pada saat konsepsi, karena bahkan dalam ilmu pengetahuan-pun diketahui, “Sebuah zygote adalah sebuah keseluruhan manusia yang unik.” Pada saat konsepsi inilah sebuah kesatuan sel manusia yang baru terbentuk, yang lain jika dibandingkan dengan sel telur ibunya, ataupun sel sperma ayahnya. Pada saat konsepsi ini, terbentuk sel baru yang terdiri dari 46 kromosom (seperti halnya sel manusia dewasa) dengan kemampuan untuk mengganti bagi dirinya sendiri sel-sel yang mati. Analisa science menyimpulkan bahwa fertilisasi bukan suatu “proses” tetapi sebuah kejadian yang mengambil waktu kurang dari satu detik. Selanjutnya, dalam 24 jam pertama, persatuan sel telur dan sperma bertindak sebagai sebuah organisme manusia, dan bukan sebagai sel manusia semata-mata.
Mengapa aborsi itu dosa
Masalahnya, orang-orang yang “pro-choice” tidak menganggap bahwa yang ada di dalam kandungan itu adalah manusia, atau setidaknya mereka menghindari kenyataan tersebut dengan berbagai alasan. Padahal science sangat jelas mengatakan terbentuknya sosok manusia adalah pada saat konsepsi (pembuahan sel telur oleh sel sperma). Pada saat itulah Tuhan ‘menghembuskan’ jiwa kepada manusia baru ciptaan-Nya, yang kelak bertumbuh dalam rahim ibunya, dapat lahir dan berkembang sebagai manusia dewasa. Adalah suatu ironi untuk membayangkan bahwa kita manusia berasal dari ‘fetus’ yang bukan manusia. Logika sendiri sesungguhnya mengatakan, bahwa apa yang akan bertumbuh menjadi manusia layak disebut sebagai manusia.
1. Berbagai Macam Abortus
Ada berbagai macam abotsi yang kita kenal selama ini, sebagaian diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Abortus provocatus (direct abortion)
Adalah upaya pencegahan kelahiran melalui tindakan yang secara langsung bertujuan untuk membunuh bayi yang masih ada dalam kandungan
b. Aborsi tak langsung (inderict abortion)
Adalah upaya penyelamatan seorang ibu dalam keadaan hamil, yang mengidap tumur ganas dalam rahimnya. Upaya tersebut dilakukan melalui opreasi yang mengandung resiko bahwa bayi yang ada dalam kandungan akan ikut terangkat. Kematian bayi bukanlah merupakan tujuan, melainkan akibat dari tindakan medis.
c. Abortus spontaneus (tidak sengaja)
Adalah peristiwa kematian bayi dalam kandungan, namun tidak disengaja/tidak disadari oleh ibu yang bersangkutan.
2. Cara Melakukan Aborsi
Istilah aborsi yang dimaksud selama ini lebih diartikan sebagai abortus provocatus, tindakan yang menghilangkan bayi dari kandungan atau mencegah kelahiran bayi yang dilakukan dengan sengaja.
Macam-macam cara melakukan aborsi di antaranya dilatasi/kuret, penyedotan, peracunan, ceasar, dan pengguguran kimia.
1). Dilatasi/Kuret.
Lubang rahim diperbesar, agar rahim dapat dimasuki kuret, yaitu sepotong alat yang tajam.
2) Kuret dengan cara penyedotan
Kuret dengan cara penyedotan dilakukan dengan memperlebar lobang rahim, kemudian sebuah kantung dimasukan ke dalam rahim dan dihubungkan dengan alat penyedot yang kuat.
3) Peracunan dengan Garam
Pengguguran dengan peracunan garam ini dilakukan pada janin berusia 16 minggu (4bulan).
4) Histerotomi/Caesar
Terutama dilakukan bulan terakhir dari kehamilan.
5) Pengguguran Kimia Prostaglandin
Menggunakan bahan-bahan kimia yang dikembangkan.
3. Alasan Orang Melakukan Pengguguran (Aborsi)
Ada banyak alasan orang melalukan aborsi. Diantara alasan-alasan itu ada ayng sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Walaupun begitu tetap tidak dapat menjadi bahan pembenaran dalam Gereja.
a. Alasan Sosial Ekonomi (Malu, Belum Siap)
Alasan ini dikarenakan kehamilan yang tidak dikehendaki, sebagai akibat hubungan diluar nikah, hubungan gelap. Karena merasa malu atau belum siap baik secara mental maupun ekonomi, lalu yang bersangkutan melakukan aborsi.
b. Alasan Eugenis (Anak Cacat Kandungan)
Setelah diketahui bahwa anak yang masih di dalam kandungan ternyata cacat, lalu orang tua merasa kasihan, kemudian memutuskan untuk menggugurkan anak ini, alasanya adalah dari pada anak lahir dan hidupnya menderita karena cacat, lebih baik digugurkan saja.
c. Alasan Psiko-Sosial (Perkosaan, Incest)
Kasus kehamilan akibat pemerkosaan atau hubungan dengan saudara sendiri tak jarang menimbulkan dilema atau ketegangan. Keluarga yang terkena kasus semacam ini tentu akan malu dan secara publik kehormatan dan status sosialnya seakan-akan menjadi hancur.
Namun demikian ada alasan yang mungkin dapat diterima secara moral, dalam kasus medis yang dimungkinkan seorang dokter harus memilih nyawa ibu atau bayi, contoh ibu yang sedang hamil dilakukan tindakan medis karena ditemukan kangker dalam rahimnya, maka perlu dilakukan tindakan medis yang memungkinkan resiko kematian bayi.
Jadi, pada dasarnya menghilangkan anak yang ada dalam kandungan dengan alasan apa pun. Tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan menambah masalah baru yang lebih rumut. Karena berurusan dengan kehidupan. Hidup adalah anugerah Allah, dan hidup harus dijaga, dirawat, dan dikembangkan terus.
4. Pandangan Negara, Kitab Suci dan Ajaran Gereja tentang Aborsi.
Hukum Negara melarang tindakan aborsi, lebih-lebih Kitab Suci dan Ajaran Gereja sangat menentang aborsi. Aborsi yang disengaja jelas merupakan tindakan dosa.
a. Hukum Negara.
Upaya perlindungan terhadap bayi dalam kandungan terwujud dalam ketentuan hukum, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan diatur hukumannya sesuai dengan pasal dapam KUHP, Pasal 342, pasal 246, pasal 247, pasat 348, pasal 249
b. Ajaran Kitab Suci
Kitab suci juga mengajarkan bahwa manusia sudah terbentuk sebagai manusia sejak dalam kandungan ibu:
Yes 44:2: “Beginilah firman TUHAN yang menjadikan engkau, yang membentuk engkau sejak dari kandungan dan yang menolong engkau…”
Allah sendiri mengatakan telah membentuk kita sejak dari kandungan, artinya, sejak dalam kandungan kita sudah menjadi manusia yang telah dipilih-Nya.
Ayb 31: 15: “Bukankah Ia, yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu juga? Bukankah satu juga yang membentuk kami dalam rahim?”
Ayub menyadari bahwa ia dan juga orang-orang lain telah diciptakan/ dibentuk oleh Allah sejak dalam kandungan.
Yes 49, 1,5: “….TUHAN telah memanggil aku sejak dari kandungan telah menyebut namaku sejak dari perut ibuku…. Maka sekarang firman TUHAN, yang membentuk aku sejak dari kandungan untuk menjadi hamba-Nya, untuk mengembalikan Yakub kepada-Nya…”
Nabi Yesaya mengajarkan bahwa Allah telah memanggilnya sejak ia masih di dalam kandungan (sesuatu yang tidak mungkin jika ketika di dalam kandungan ia bukan manusia)
Kitab Suci mengajarkan bahwa setiap kehidupan di dalam rahim ibu adalah ciptaan yang unik, yang sudah dikenal oleh Tuhan:
Yer 1:5: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
Mazmur 139: 13, 15-16: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku…. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya.”
Gal 1:15-16: “Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia”
Luk 1:41-42: “Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus lalu berseru, “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.”
c. Ajaran Gereja
Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes 27, “Selain itu apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran (aborsi), eutanasia atau bunuh diri yang disengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, …. apa pun yang melukai martabat manusia, seperti kondisi-kondisi hidup yang tidak layak manusiawi, pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan orang-orang, perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda; begitu pula kondisi-kondisi kerja yang memalukan, sehingga kaum buruh diperalat semata-mata untuk menarik keuntungan…. itu semua dan hal-hal lain yang serupa memang perbuatan yang keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi, perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, dari pada mereka yang menanggung ketidak-adilan, lagi pula sangat berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta.”
Yohanes Paulus II dalam surat ensikliknya, Evangelium Vitae menekankan bahwa Injil Kehidupan (the Gospel of Life) yang diterima Gereja dari Tuhan Yesus sebenarnya telah menggema di hati semua orang. Setiap orang yang terbuka terhadap kebenaran dan kebaikan akan mengenali hukum kodrat yang tertulis di dalam hatinya (lih. 2:14-15) tentang kesakralan kehidupan manusia dari sejak awal mula sampai akhirnya; dan dengan demikian dapat mengakui adanya hak dari setiap orang untuk dapat hidup. Sesungguhnya atas dasar pengakuan akan hak untuk hidup inilah setiap komunitas manusia dan komunitas politik didirikan.
Gereja menghukum pelanggaran melawan kehidupan manusia ini dengan hukum gereja, yakni hukuman ekskomunikasi.”Barangsiapa yang melakukan pengguguran kandungan dan berhasil, terkena ekskomunikasi “ (KHK Kanon 1398).
Untuk Para Remaja:
Gereja menghukum pelanggaran melawan kehidupan manusia ini dengan hukum gereja, yakni hukuman ekskomunikasi.”Barangsiapa yang melakukan pengguguran kandungan dan berhasil, terkena ekskomunikasi “ (KHK Kanon 1398).
Untuk Para Remaja:
Usahakan supaya tidak melakukan hubungan intim sebelum resmi menikah. Dalam berpacaran dan bertunangan sikap tahu menahan diri merupakan tanda pengungkapan cinta yang tertempa dan tidak egoistis.
Untuk Para Keluarga :
Perencanaan kehamilan harus masak dipertimbangkan dan dipertahankan dengan sikap ugahari dan bijaksana. Kehadiran buah kandunagan yang tidak direncanakan harus dielakkan secara tepat dan etis.
C. Bunuh Diri dan Euthanasia
Tindakan tidak menghargai hidup yang lain adalah bunuh diri dan euthanasia, dalam bagaian ini kita akan membaas segala sesuatu yang berkaitan dengan bunuh diri dan euthanasia, termasuk didalamnya bagaimanakan pandangan Gereja dalam hubungannya dengan ini.
1. Bunuh Diri
Bunuh diri adalah perbuatah menghentikan hidup sendiri yang dilakukan oleh diri sendiri atau atas permintaannya. Banyak sebab yang yang menjadi pemicu tidakan bunuh diri.
a. Orang mengalami depresi atau tekanan batin.
Perasan tertekan, frustasi, dan bingung dapat menjadikan seseorang melakukan tindakan bunuh diri; putus cinta, beban ekonomi keluarga yang berat, berasa hidupnya tidak lagi bermakna, terbelit hutang.
b. Orang Mau Melakukan Protes, sehingga menjadikan dirinya sendiri tewas, mogok makan, membakar diri, menembak diri.
2. Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahaya Yunani yang berarti “kematian yang baik (mudah)”. Kematian dilakukan untuk membesaskan seseorang dari penderitaan yang amat berat, dengan menyebabkan seseorang penderita mati secara pelan-pelan dan tidak terasa. Tindakan ini juga merupakan tindakan tidak menghormati hidup. Seperti kesenangan, penderitaan termasuk dalam hidup manusia yang mempunyai nilai dan maknanya tersendiri. Manusia tidak dapat dilenyapkan karena penderitaan.
Ada berbagai macam euthanasia :
1) Dilihat dari Segi Pelakunya
a. Compulsary Euthanasia, yaitu bila orang lain memutuskan kapan hidup seseorang akan berakhir.
b. Voluntary Euthanasia, berarti orang itu sendiri yang meminta untuk mati.
2) Dilihat dari Segi Caranya
a. Euthanasia aktif; mempercepat kematian seseorang secara aktif dan terencana, juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri.
b. Euthanasia non-agresif atau kadang-kadaing disebut autoeuthanasia, suatu praktek euthanasia pasif atas permintaan. (pasian menolak dilakukan perawatan atau pengobatan secara medis)
c. Euthanasia pasif; pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak dimulai atau diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya.
3) Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin
a. Euthanasia di luar kemauan pasien, yaitu suatu tindakan euthanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup.
b. Euthanasia secara tidak sukarela, tindakan yang dilakukan diluar sepengetahuan wali atau keluarga yang mempunyai hak untuk membuat keputusan.
Franz Magnis Suseno S.J. membedakan empat arti euthanasia, yaitu sebagai berikut :
1. Euthanasia murni Adalah usaha untuk meringankan kematian
seseorang tanpa memperpendek hidupnya. Di situ termasuk semua perawatan
dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan “baik”
2. Euthanasia pasif Adalah kalau tidak dipergunakan semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan
3. Euthanasia tidak langsung Adalah usaha untuk memperingan
kematian dengan efek samping bahwa pasien barangkali meninggal dalam
waktu lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat
narkotika, hipnotika, dan anelgetika yang barangkali secar de facto
memperpendek kehidupan walaupun hal itu disengaja.
4. Euthanasia aktif (Mercy Killing) Adalah proses kematian
diringankan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung.
Dalam euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien
menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan
di mana keinginannya dapat diketahui.
Menurut Fred Ameln bentuk-bentuk euthanasia dapat dibedakan kedalam kelompok-kelompok sebagai berikut :
1. Euthanasia atas permintaan pasien;
2. Euthanasia yang dapat diminta pasien.
Selain itu juga dapat dibedakan :
1. Euthanasia pasif atas permintaan atau tanpa permintaan pasien;
2. Euthanasia aktif atas permintaan atau tanpa permintaan pasien.
Dalam euthanasia aktif masih dapat dibedakan lagi, yaitu :
1. Euthanasia aktif secara langsung (direct);
2. Euthanasia aktif secara tidak langsung (indirect).
Euthanasia pasif terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan
lainnya secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medik kepada pasien
yang dapat memperpanjang hidupnya (dengan alasan bahwa perawatan pasien
diberikan terus-menerus secara optimal dalam uasaha untuk membantu
pasien dalam fase hidup yang terakhir).
Euthanasia aktif terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan
lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek hidup
pasien atau untuk mengakhiri hidup pasien tersebut.
Euthanasia aktif secara langsung terjadi bila dokter atau tenaga
kesehatan lainnya melakukan suat tindakan medis untuk meringankan
penderitaan pasien sedemikian rupa sehingga secara logis dapat
diperhitungkan bahwa hidup pasien diperpendek atau diakhiri. Sedangkan
Euthanasia secara tidak langsung terjadi apabila dokter atau
tenaga kesehatan lainnya tanpa maksud untuk memperpendek atau mengakhiri
hidup pasiennya, melakukan suatu tindakan medik untuk meringankan
penderitaan pasien dengan mengetahui adanya risiko bahwa tindakan medik
ini dapat mengakibatkan diperpendek / diakhiri hidup pasiennya.
Euthanasia di bagi dalam 4 kategori dasar, yaitu :
1. Aktif atas kehendak yang bersangkutan (acrive voluntary euthanasia)
2. Pasif atas kehendak yang bersangkutan (passive voluntary euthanasia)
3. Aktif tanpa dengan kehendak yang bersangkutan (active non-voluntary euthanasia)
4. Pasif tanpa dengan kehendak yang bersangkutan (passive non-voluntary euthanasia)
1. Euthanasia Aktif atas kehendak yang bersangkutan Adalah bila
orang yang bersangutan meminta agar hidupnya diakhiri dengan segera dan
dokter atau orang lain mengambil tindakan-tindakan untuk mempecepat
kematian orang tersebut. Orang tersebut menghendaki kematiannya karena
sudah tidak sanggup mederita sakit yang berkepanjangan, sudah tidak
mempunyai harapan sembuh, sedang dokter atau orang lain merasa kasihan
atas penderitaannya dan berusaha mengakhiri hidupnya dengan cepat tanpa
rasa sakit.
2. Euthanasia pasif atas kehendak yang bersangkutan Adalah bila
orang yang bersangkutan menghendaki segala usaha pertolongan untuk
memperpanjang hidupnya dihentikan, sehingga maut bisa segera
menjemputnya berhubung ia sudah tidak tahan lagi akan penderitaan yang
berkepanjangan.
3. Euthanasia pasif tidak atas kehendak orang yang bersangkutan
Adalah orang yang bersangkutan sudah tidak mampu lagi menyatakan
kehendak dan dokter atau orang lain memutuskan untuk menghentikan
usaha-usaha pertolongan yang dimaksudkan untuk menyelamatkan jiwanya
karena penyakitnya sudah tidak tertolong lagi.
4. Euthanasia aktif tanpa kehendak dari orang yang bersangkutan
Adalah bila orang yang bersangkutan sudah dalam keadaan parah, sehingga
tak mampu lagi untuk menyatakan kehendaknya dan dokter atau orang lain
karena kasihan, mengakhiri hidup orang tersebut dengan cara yang tidak
menimbulkan rasa sakit sehingga orang tersebut bebas dari
penderitaannya.
Membicarakan bentuk-bentuk semu Euthanasia adalah sangat penting, karena
kadang-kadang dalam diskusi tentang euthanasia masih sering terjadi
kekeliruan (misunderstanding), sehingga suasana diskusi menjadi simpang
siur. Di satu pihak, misalnya dalam hal memberhentikan pengobatan
(perawatan) yang sudah tidak ada gunanya lagi (zinloos) dianggap sebagai
tindakan euthanasia pasif, sedangkan di pihak lain ada yang
menganggapnya hanya sebagai bentuk semu dari euthanasia. Disebut bentuk
semu dari euthanasiakarena mirip dengan euthanasia, tetapi sebetulnya
bukan euthanasia.
Bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang mirip dengan euthanasia ini disebut oleh H.J.J. Leenen adalah sebagai schijngestaten van euthanasia. Adapun yang termaksud ke dalam bentuk semu euthanasia adalah sebagai berikut :
1. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada gunanya (zinloos)
2. Penolakan perawatan medis oleh pasien (keluarganya)
3. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis karena mati otak (brain death)
4. Pengakhiran hidup pasien akibat persediaan peralatan medis yang terbatas (emergency)
5. Euthanasia akibat “sikon”
1. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada gunanya (zinloos)
Dalam hal memberhentikan pengobatan atau perawatan medis yang sudah
tidak ada gunanya lagi (zinloos), masih terdapat perbedaan pendapat. Ada
yang menyebutkan sebagai bentuk euthanasia pasif, tapi ada juga yang
menyebutnya sebagai bentuk semu dari euthanasia. Dalam literatul lebih
banyak yang menyebutnya hanya sebagai euthanasia dalam bentuk semu,
bukan euthanasia pasif. Untuk menentukan apakah suatu pengobatan atau
perawatan adalah tidak ada gunanya lagi, maka harus dilihat
kriteria-kriteria medik tertentu. Adapun kriteria tersebut adalah apakah
tindakan medik terhadap pasien akan mencapai efek yang dituju, dan
apakah hal ini dapat diharapkan secara reasonable. Dengan perkataan lain
berarti harus ada suatu perbandingan yang reasonable antara tindakan
medik dengan efeknya (hasil). Jika tidak terdapat perbandingan yang
reasonable, berarti dapat dinilai bahwa tindakan medik tersebut adalah
sama sekali sudah tidak ada gunanya (zinloos), sehinnga dokter pun tidak
berwenang untuk melakukan tindakan medik. Dalam hal demikian, walaupun
akhirnya pasien tersebut meninggal dunia, dokter tetap tidak dapat
dianggap telah melakukan euthanasia (pasif), karena sudah tidak
berwenang melakukan pengobatan. Justru bila dokter tetap melakukan
pengobatan, maka ia telah melakukan penganiyaan terhadap pasien.
Dalam bukunya yang berjudul Rechten van Mensen in Den Gezondheissorg,
tahun 1978 halaman 239, Leneen mengatakan bahwa : “Seorang dokter hanya
ada wewenang untuk bertindak jika tindakan tersebut adalah berguna,
dimana tindakannya adalah tidak ada gunanya lagi, maka terjadilah
penganiayaan. Seorang dokter tidak melakukan penganiyaan yuridis selam
ia bertindak sesuai dengantujuan yang ia sebagai dokter ingin mencapai
dan selamanya ia sudah mendapatkan izin atau persetujuan dari
pasien”.Berdasarkan pendapat Leneen di atas, dapat disimpulkan bahwa
seorang dokter seharusnya tidak memulai suatu terapi ataupun tidak
meneruskan terapi, apabila memang secara yuridis tidak dapat lagi
diharapkan suatu hasil, walaupun hal ini mengakibatkan meninggalnya
pasien. Dalam hal demikian, berarti tidak terdapat euthanasia (pasif),
tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, karena dokter sendiri sudah
tidak kompeten melakukan tindakan medik. Justru bila dokter tetap
melakukan medikasi, maka ia tercantum telah melakukan penganiayaan.
2. Penolakan perawatan medik oleh pasien (keluarganya) Penolakan
perawatan medik ini ada yang mengakibatkan matinya pasien, dan ada juga
yang tidak mengakibatkan matinya pasien. Pada umumnya bila tidak ada
izin dari pasien, dokter tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan
medik untuknya, walaupun akhirnya akan mengakibatkan meninggalnya pasien
tersebut. Penolakan perawatan medis ini erat kaitannya dengan hak-hak
pasien. Pasien mempunyai hak untuk menolak seluruh terapi ataupun
sebagian terapi. Adapun yang melandasi hak-hak pasien ini adalah karena
adanya the right of self determination atas badannya sendiri.
Dalam hal penolakan medik ini, Hoge Read Belanda telah mengeluarkan
arrest-nya, yaitu HR 14 Juni 1974, NJ 1974, 436, yang mengatakan :
“Seorang dokter pada umumnya tidak mempunyai hak untuk melakukan suatu
tindakan medik terhadap seorang pasien, jika tindakan medik itu tidak
dikehendaki oleh pasiennya”. Jadi, apabila pasien telah menolak
perawatan medik dan kemudian pasien tersebut meninggal, maka dokter
tidak dapat disalahkan telah melakukan tindakan euthanasia (pasif).
Meninggalnya pasien tersebut hanya sebagai bentuk semu dari euthanasia.
3. Memberhentikan pengobatan (perawatan) medika karena mati otak (brain death)
Kriteria mati otak benar-benar mulai diperhatikan sejak tahun 1970-an.
Ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi biomedis yang begitu pesat,
sehingga mendesak dunia medis untuk merubah dan merumuskan kembali
pengertian matinya seseorang. Dahulu, pengertian mati seseorang
ditentukan oleh denyut jantung. Apabila denyut jantung seseorang sudah
tidak berdenyut lagi (tidak bernapas) maka orang tersebut sudah dianggap
meninggal dunia. Akan tetapi, sekarang dengan adanya teknologi canggih
di bidang medis, orang dapat bernapas kembali walaupun secara
artificial. Denyut jantung yang tersendat-sendat dapat dipacu dengan
alat pacu jantung, sehingga sekarang kita sudah dapat berbicara tentang
“mayat hidup”.
Pada tahun 1974 dewan kesehatan belanda telah memberikan kriteria kapan seseorang dapat dinyatakan mati otak, yaitu jika :
1. Otak mutlak tidak lagi berfungsi
2. Fungsi otak tidak lagi dapat dipulihkan kembali.
Menurut Kartono Muhammad, mengatakan bahwa : “Pusat-pusat penggerak
jantung dan paru-paru yang build up dalam tubuh manusia itu terletak di
batang otak. Oleh karena itu, jika batang otak sudah mati, dapatlah
diyakini bahwa manusia itu sudah mati. Itulah awal dari criteria mati
batang otak sebagai pedoman untuk menghentikan mesin-mesin pembantu
tadi. Sebab dari segi agamapun perpanjangan penggunaan alat-alat tadi
mungkin tidak dapat dibenarkan, karena pada hakikatnya pasien tersebut
sudah manjadi jenazah”.
Selanjutnya beliau mengatakan : “Jika tanda-tanda mati batang otak sudah
dapat dibuktikan, fatwa IDI menyatakan bahwa dokter boleh menghentikan
segala tindakan penopang yang selama ini dilakukan. Karena pada saat
batang otak sudah mati, orang itu benar-benar meninggal, maka tindakan
penghentikan pertolongan bukan lagi euthanasia. Jadi, tidaklah dapat
untuk dirancang pengertian penetapan mati batang otak dengan
euthanasia”. Jadi, misalnya ada seorang pasien (korban) kecelakaan lalu
lintas dan korban tersebut di bawah ke rumah sakit. Kemudian ia segera
dirawat dan dipasang sebuah respirator. Tetapi ternyata pasien tersebut
belakang kepalanya hancur, yang berarti ia sudah mati batang otaknya.
Pasien tersebut hanya dapat hidup secara vegetative dengan pernapasan
artificial. Kemudian dokter mencabut respirator yang dipasang pada
pasien tersebut, sehingga pernapasan artifisianya berhenti dan ia pun
segera meninggal dunia. Pelepasan respirator tersebut tidak termaksud
dalam tindakan euthanasia, melainkan hanya merupakan pengakhiran hidup
yang mirip dengan euthanasia, karena pasien tersebut batang otaknya
sudah mati, yang berarti ia sudah meninggal dunia. Dalam hal ini dokter
tidak dapat dipersalahkan telah melakukan tindakan euthanasia (pasif).
Ia bebas dari segala tuntutan hukum.
4. Pengakhiran hidup pasien akibat persediaan peraltan medis yang terbatas (emergency)
Bentuk euthanasia semua ini dapat terjadi apabila di suatu rumah sakit
kekurangan alat medis. Misalnya, ada suatu tabrakan bis dan banyak
korban yang harus ditolong. Kemudian para korban yang harus dipasangi
respirasi, sedangkan alat tersebut sangat terbatas. Respirator tidak
mungkin dipasang secara bergantian dari pasien yang satu ke pasien yang
lainnya, sehingga ada beberapa pasien yang tidak terpasangi respirator,
dan kemudian meninggal dunia. Maka dalam hal demikian, tidak terjadi
kasus euthanasia. Dokter atau tenaga medis lainnya yang sedang bertugas
di ruang darurat tidak dapat disalahkan telah melakukan euthanasia.
5. Euthanasia “Akibat sikon” Dalam tulisannya, Rully Roesly
berpendapat bahwa ada jenis euthanasia lain selain euthanasia aktif dan
pasif, yaitu euthanasia “akibat sikon”. Yang dimaksud dengan euthanasia
“akibat sikon” ini adalah suatu situasi apabila pasien masih ingin /
besar harapannya untuk tetap hidup dan dokter masih mampu mengupayakan
pengobatan, tetapi berhubung kondisi ekonomi pasien yang tidak mampu
membiayai pengobatan, maka upaya pengobatan terpaksa dihentikan, dan
pasienpun meninggal.
Ulasan Lengkap
Pada dasarnya menurut Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”), setiap orang dilarang melakukan aborsi. Larangan dalam Pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi
kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Aborsi tersebut hanya dapat dilakukan: (lihat Pasal 76 UU Kesehatan)
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Dalam
UU Kesehatan ada sanksi pidana bagi orang yang melakukan aborsi tidak
sesuai dengan ketentuan Pasal 75 UU Kesehatan, yaitu dalam Pasal 194 UU Kesehatan:
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Berdasarkan
ketentuan di atas, dapat kita lihat bahwa UU Kesehatan tidak membedakan
hukuman pidana bagi ibu si bayi maupun bidan yang membantu aborsi. Ini
berbeda dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Merujuk pada ketentuan dalam KUHP, si bidan dapat dihukum dengan Pasal 349 jo. Pasal 348 KUHP:
Pasal 349 KUHP:
“Jika
seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana
yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan
dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan
dilakukan.”
Pasal 348 KUHP:
(1) Barang
siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Karena
sudah ada ketentuan yang mengatur lebih khusus yaitu UU Kesehatan, maka
yang berlaku adalah ketentuan pidana dalam UU Kesehatan bagi si bidan.
Ini berarti si bidan dapat dihukum karena melanggar Pasal 75 UU
Kesehatan dengan ancamana hukuman sebagaimana terdapat dalam Pasal 194
UU Kesehatan yang telah disebutkan di atas.
Sedangkan
bagi si laki-laki, Anda tidak menyebutkan apakah si laki-laki ikut
menghasut si perempuan atau tidak. Jika si laki-laki tidak melakukan
tindakan apa-apa, maka ia tidak dapat dihukum pidana.
Akan
tetapi si laki-laki dapat dihukum karena hubungan seks yang dilakukan
dengan pacarnya yang masih anak-anak. Yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak - “UU Perlindungan Anak”).
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Pelaku Persetubuhan Karena Suka Sama Suka, Bisakah Dituntut?, orang yang melakukan persetubuhan dengan anak, meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka, dapat dijerat dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak, yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 81 UU Perlindungan Anak:
(1) Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah).
(2) Ketentuan
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.
Pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.Pasal 339
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.Pasal 340
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.Pasal 341
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.Pasal 342
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama semhi- lan tahun.Pasal 343
Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan anak dengan rencana.Pasal 344
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.Pasal 345
Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.Pasal 347
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
No comments:
Post a Comment