Dewasa ini dalam berbagai media massa setiap hari kita
dapat mendengar sekaligus membaca seputar peperangan yang sedang terjadi baik
antarnegara maupun antarbangsa atau manusia. Alasan yang mau diperjuangkan dari
tindakan ini beraneka bentuk: “ membasmi teroris, menegakkan kebenaran dan
keadilan bahkan sampai tindakan membela diri dari serangan bangsa lain, dll.
Berhadapan dengan fenomena ini, kita pun dapat bertanya: “apakah perang itu
dapat dibenarkan bila dilihat dari tinjauan iman Katolik?
Menyikapi pertanyaan ini, Agustinus dari Hippo
menjawab bahwa “Ada”. Menurutnya, perang itu dapat dibenarkan apabila untuk
membela diri dari serangan bangsa lain. Dapat dikatakan bahwa perang itu
menjadi tidak dibenarkan ketika bukannya digunakan untuk membela diri. Di samping
itu, peperangan tersebut tidak boleh didasarkan pada kebencian dan balas
dendam. Perang harus ditunjukkan demi menciptakan perdamaian dan kebaikan
bersama.
Sementara Thomas Aquinas menyusun teori perang yang
benar dengan menetapkan tiga syarat yakni: “dilakukan atas perintah penguasa
yang berwenang, dimulai karena satu alasan yang bisa dibenarkan dan
dilaksanakan dengan tujuan yang benar pula, yaitu mencapai kebenaran dan
menghilangkan keburukan. Dengan demikian, pandangan kedua tokoh inilah yang mendasari
perumusan Gereja Katolik mengenai konsep perang yang benar.
Gereja Katolik merumuskan bahwa suatu perang dapat
dikatakan benar apabila memenuhi lima syarat, yakni: “perang diumumkan oleh
otoritas yang berwenang, perang mempunyai alasan yang benar, perang merupakan
satu-satunya jalan keluar, perang mempunyai harapan akan berhasil dan perang
mempunyai intensi yang benar.
I. GAMBARAN UMUM PERANG
1. Pengantar
Setelah menguraikan gambaran umum makalah ini dalam
bab pendahuluan, sekarang penulis akan menguraikan gambaran umum mengenai
perang. Penulis akan mengawali pembahasan ini dengan menguraikan pengertian
perang, setelah itu akan diuraikan klasifikasi perang.
2. Pengertian dan Klasifikasi Perang
2.1 Pengertian Perang
Secara etimologis perang atau war (Inggris)
berasal dari kata werra (Perancis), yang berarti ketidaksepakatan (discord).
Kata discord erat kaitannya dengan kata bellum (duel atau
perang) dalam bahasa Latin dan Polemos (kontroversi agresif) dalam
bahasa Yunani. Maka, perang sering dipahami sebagai suatu kontroversi agresif
antara dua negara, agama, atau pun suku.[1]
Dalam zaman sekarang ini perang lazim dipahami sebagai
wujud suatu derajat konflik antarnegara yang berintensitas tinggi. Dalam
pemahaman konsepsionalnya, perang dapat didefinisikan sebagai: Pertama,
manifestasi sikap politik nasional dengan menggunakan kekerasan, untuk memaksa
negara lawan tunduk terhadap kemauan negara tersebut. Esensi utama perang
adalah kekerasan. Atau sebaliknya, penggunaan kekerasan tersebut diarahkan
untuk melawan paksaan lawan.[2]
Kedua, perang
juga dimengerti sebagai upaya terakhir untuk mempertahankan diri (negara) dari
upaya pemusnahan oleh lawan, dengan menggunakan segala kekuatan negara. Apabila
suatu perang didasarkan pada suatu alasan untuk mempertahankan negara dari
agresi negara lain, maka perang tersebut dihayati sebagai perang nasional.[3]
Ketiga, perang
dilihat dari perspektif yuridis. Secara yuridis perang dipahami sebagai situasi
dan kondisi hukum yang memungkinkan dua atau lebih pihak yang bermusuhan
menyelesaikan pertikaiannya secara kekerasan dengan kekuatan persenjataan.
Kini, perang semakin lazim dipahami sebagai perwujudan bentuk konflik dalam
derajat intensitas yang relatif tinggi. Konflik yang belum tinggi dapat
dimanifestasikan dalam bentuk subversi dari suatu negara terhadap negara lain,
aksi teror dan propaganda.[4]
2.2 Klasifikasi Perang
Perang dengan segala jenisnya mempunyai unsur-unsur
fundamental yang dapat membedakannya satu sama lain. Maka, penulis akan
mengklasifikasikan perang dalam tiga bagian besar, yaitu perang yang didasarkan
pada strategi, senjata yang digunakan dan perang yang didasarkan pada alasan
untuk memulainya.
2.2.1 Perang Berdasarkan Strategi yang Digunakan
Taktik perang ialah rencana atau tindakan yang
bersistem yang digunakan dalam peperangan untuk mencapai suatu tujuan. Tindakan
yang bersistem ini akan menjadi panduan atau pegangan bagi suatu negara dalam
melakukan peperangan. Semua kegiatan peperangan akan didasarkan dan mengacu
pada taktik perang yang telah ditetapkan.
2.2.1.1 Perang Gerilya
Istilah gerilya berasal dari bahasa Spanyol, guerrilla
yang artinya perang kecil, lahir dari perjuangan para petani Spanyol ketika
menghadapi invasi militer Perancis di bawah pemerintahan Napoleon. Sekarang,
istilah perang gerilya dipakai untuk menyebut perang yang melibatkan unit
tempur ireguler yang secara militer lemah, yakni unit-unit tempur non-tentara
formal. Faktor yang terbukti sangat menentukan sukses atau tidaknya sebuah
perang gerilya adalah dukungan masyarakat lokal, yang kemudian diperluas hingga
lingkup negara secara keseluruhan.[5]
Perang gerilya merupakan perang yang dilakukan
terus-menerus dengan mobilitas tinggi untuk mengganggu dan menggagalkan setiap
usaha lawan. Dalam perang ini kelompok (warga negara) yang bergerilya tidak
melibatkan diri dalam suatu pertempuran yang berkepanjangan, sehingga lawan
merasa frustrasi dan tidak yakin dapat meraih sasaran perangnya. Apabila lawan
telah merasa frustrasi dan merasa bahwa sasaran perangnya tidak dapat diraih,
maka situasi dan kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan serangan akhir
secara frontal.[6]
2.2.1.2 Perang Rakyat Semesta
Perang rakyat semesta (Perata) merupakan suatu bentuk
perang yang bersifat semesta, yang melibatkan seluruh kekuatan nasional. Dalam
pelaksanaannya Perata mengandalkan kekuatan kelompok militan sebagai unsur
utama untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan suatu bangsa atau negara.[7]
Perata merupakan jenis perang sejak abad ke-20, apalagi ketika senjata nuklir
dan biokimia sudah dipergunakan dalam peperangan. Dalam perang nuklir dan
biokimia mau tidak mau seluruh rakyat harus ikut ambil bagian, karena mereka
pasti akan kena imbasnya, baik langsung maupun tidak langsung.[8]
Perata merupakan salah satu strategi perang yang tidak
dapat dipisahkan dari sistem pertahanan keamanan di Indonesia hingga sekarang.
Perang ini dibentuk oleh para pimpinan TNI pada tahun 1960, tetapi pada tahun
1970-an perang ini diganti nama menjadi Pertahanan Rakyat Semesta (hankamrata).[9]
2.2.1.3 Perang Jangka Panjang
Perang jangka panjang merupakan perang yang
berlarut-larut dan berlangsung dalam jangka panjang. Perang ini menggunakan
strategi mengelakkan kekalahan pihak sendiri. Secara prinsipial perang jangka
panjang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perang gerilya, karena dalam
pelaksanaannya perang jangka panjang tidak selalu berperang secara frontal.
Kadang kala perang jangka panjang juga menggunakan taktik perang gerilya, yang
berusaha membuat musuh frustrasi dan merasa tidak mampu meraih tujuan perang.
Perang seperti ini lazimnya dilakukan oleh pihak yang lemah dalam menghadapi
pihak yang kuat.[10]
2.2.2 Perang Berdasarkan Peralatan (Senjata) yang
Digunakan.
Pengklasifikasian perang berdasarkan peralatan yang
digunakan didasarkan pada tingkat kemajuan dan efektivitas peralatan yang digunakan
untuk berperang. Penulis akan membagi perang ini dalam tiga bagian, yaitu:
Perang Konvensional, Perang Nuklir, Perang Biologi dan Kimia.
2.2.2.1 Perang Konvensional
Perang konvensional ialah perang yang menggunakan
persenjataan non-nuklir. Artinya, suatu peperangan yang tidak menggunakan bahan
nuklir dan dalam prakteknya efek buruk yang ditimbulkan masih terbatas serta
dapat dikontrol.[11]
Perang konvensional dapat dibagi menjadi tiga bagian: Pertama adalah Perang
Kuno. Perang kuno merupakan jenis perang yang pertama kali dikenal manusia.
Ciri-ciri perang kuno yaitu, pihak yang bertikai bertemu secara “jantan” di
tempat tertentu, kemudian bertarung untuk menyelesaikan masalah mereka, hingga
salah satu di antaranya menyerah kalah atau mati. Cara perang seperti ini
merupakan cara perang yang dianggap paling ksatria, yang dikenal dengan nama
perang tanding atau duel. [12]
Pada Abad Pertengahan cara perang kuno cukup populer
untuk menyelesaikan masalah di antara dua orang terhormat dengan cara adu
pedang, atau dengan cara saling beradu revolver dalam jarak tertentu. Akan
tetapi sejak dikenalnya sistem pengoordinasian massa ke dalam suatu bentuk
pasukan reguler yang kemudian dijadikan sarana untuk berperang, cara berperang
seperti ini kemudian hanya dijadikan semacam “simbol kehormatan”
antarbangsawan.[13]
Kedua adalah Perang Semi Statis. Perang ini
disebut semi statis karena adanya pihak yang dinamis (pihak penyerang) dan ada
pihak yang statis (pihak yang bertahan). Perang semi statis terjadi ketika
manusia mulai mengenal pengoordinasian pasukan dan mulai meninggalkan bentuk
perang kuno. Ciri dari perang semi statis adalah diciptakannya benteng-benteng
dan adanya pengepungan terhadap benteng-benteng musuh. Perang ini sangat
populer Abad Pertengahan dan era Perang Salib.[14]
Pada masa perang semi statis inilah diperkenalkan senjata baru yaitu meriam.
Ketiga adalah Perang Statis. Perang ini disebut
statis karena pada masa ini kedua pihak yang berperang tidak lagi menyerang
atau mengepung, tetapi lebih statis dengan diam menunggu saat yang tepat untuk
menyerang. Perang semi statis berlangsung cukup lama sampai manusia mengenal
senjata api genggam (pistol dan senapan). Setelah manusia mengenal senjata api
maka perang semi statis berubah menjadi perang statis. Produk pertama senjata
api tidak praktis, karena membutuhkan waktu yang lama untuk mengisi ulang
amunisi. Senjata tersebut kemudian disebut dengan musket. Senjata ini sering
menimbulkan masalah ketika digunakan. Maka, dilakukan berbagai perbaikan hingga
dihasilkan senjata yang cukup nyaman dioperasikan meskipun pada dasarnya masih
cukup merepotkan. [15]
Pada masa perang statis senjata api masih dianggap
barang murahan yang merusak tatanan sportivitas perang karena mampu membunuh
lawan dari jarak jauh. Keadaan ini kemudian memaksa para ahli strategi perang
untuk mengubah cara berperang dari yang sebelumnya semi agresif menyerang
dengan kekuatan besar menjadi lebih statis dengan diam menunggu saat yang tepat
untuk menyerang.[16]
2.2.2.2 Perang Nuklir (Bom Atom)
Perang nuklir adalah perang yang menggunakan senjata
nuklir. Senjata nuklir merupakan senjata yang memiliki daya penghancuran luar
biasa, sukar dibatasi dan dikontrol. Daya rusak senjata ini berasal dari
energi yang dihasilkan melalui peristiwa-peristiwa pembelahan (fisi) dan
penggabungan (fusi) inti-inti atom. [17]
Senjata nuklir akan menimbulkan radiasi, yang apabila diterima dalam jumlah
besar akan mengakibatkan kematian. Partikel-partikel debu radioaktif,
endapan-endapan dari awan yang tertiup angin, juga dapat membunuh tumbuhan,
hewan dan manusia. Akibat jangka panjang radiasi, sekitar sepuluh sampai dua
puluh tahun ke depan, dapat menyebabkan kematian serta kanker pada manusia.
Sedangkan kerusakan-kerusakan genetis akan terlihat pada generasi-generasi
berikutnya.[18]
2.2.2.3 Perang Biologi dan Kimia
Perang biologi dan kimia (biokimia) ialah perang yang
melibatkan penggunaan bahan kimia dan biologi (bakteri, virus, dan racun) untuk
menimbulkan kerusakan, kematian atau mengurangi daya tempur lawan. Zat-zat
racun senjata biokimia menyerang sistem saraf, pusat pernapasan, kulit, mata,
hidung dan tenggorokan. Senjata biokimia biasanya efektif tanpa menghancurkan
bangunan, namun sangat destruktif. Disebut destruktif karena dapat membunuh
segala jenis makhluk hidup dalam jumlah yang sangat banyak dan berlangsung
dalam jangka waktu yang sangat lama. Senjata biokimia tidak hanya berakibat
buruk terhadap pasukan lawan, tetapi juga terhadap penduduk negara lawan,
hewan, hutan, ladang dan tanah pertanian. Bahkan pasukan negara yang
menggunakan senjata biokimia pun dapat kena imbasnya.[19]
Pembuatan senjata biokimia relatif lebih murah
dibandingkan dengan pembuatan senjata nuklir atau senjata canggih lainnya.
Meskipun demikian senjata ini mempunyai efek buruk yang lebih besar dan luas
dibandingkan senjata-senjata modern lainnya. “Amunisi” senjata kimia diambil
dari bahan kimia beracun, yaitu setiap bahan yang karena pengaruh kimianya
dapat menyebabkan kematian, efek tak berdaya, cacat sementara, atau bahaya
permanen pada manusia atau pun binatang. Sedangkan senjata biologi biasanya
menggunakan mikroorganisme.[20]
3. Perang yang Benar secara Umum
Agustinus tidak pernah merumuskan secara sistematis
pembahasan mengenai perang. Pembahasannya tentang perang tersebar dalam
berbagai tulisannya. Agustinus menyinggung perang dalam konteks pembelaan iman
kekristenan berhadapan dengan Kerajaan Romawi. Kerajaan Romawi menuduh
kekristenan sebagai penyebab kekalahan bangsa Romawi berhadapan dengan bangsa
Goth yang dipimpin oleh Alaric. Orang-orang Romawi melihat bahwa hukum dan
prinsip kasih kekristenan telah melemahkan semangat orang-orang Kristen untuk
berjuang bagi negara. Menyikapi hal ini, Agustinus dalam bukunya “The City of
God” menuliskan bahwa kekristenan sama sekali tidak meniadakan semangat
patriotisme, tetapi justru mengangkat semangat itu hingga ke level ketaatan
iman. Perintah agar kita “tidak membalas kejahatan dengan kejahatan” (Mat
5:39), menurutnya bukanlah larangan secara mutlak bagi perang itu sendiri,
melainkan bagi kebencian yang merupakan bahaya sebenarnya di dalam hubungan
antara sesama manusia. Jadi, perang dapat dilakukan, sejauh tidak didasarkan
pada dendam dan ingin membalas melebihi apa yang sepantasnya.[21]
Agustinus juga berpendapat bahwa perang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari hak pemegang kekuasaan politik untuk tetap
mempertahankan perdamaian. Perang dapat dibenarkan apabila dilakukan untuk
mempertahankan perdamaian di muka bumi dan dilakukan dalam kebaikan. Oleh
karena itu, menurutnya, perang yang dibenarkan hanya dapat dilakukan karena
ketidakadilan yang diakibatkan oleh penyerang. Perang bukanlah cara positif
untuk meraih keadilan dan perdamaian, melainkan sebuah cara negatif untuk
mencegah ketidakadilan. Dengan demikian, menurut Agustinus, perang hanya dapat
dibenarkan sejauh memenuhi kriteria sebagai berikut; perang dapat dilakukan
semata-mata hanya untuk mewujudkan perdamaian. Perang ditujukan untuk mempertahankan
dan membela keadilan. Di samping itu, perang harus diumumkan oleh otoritas yang
berwenang. Sikap dalam berperang harus adil. Sementara balas dendam dan
kekejian tidak diizinkan dalam peperangan.[22]
Lebih lanjut Thomas Aquinas mengadaptasikan dan
menguraikan konsep perang yang dibenarkan dalam Summa Theologicanya.
Menurutnya, peperangan hanya dibenarkan apabila memenuhi tiga kriteria, di
antaranya; dilakukan atas perintah penguasa yang sah, dimulai karena satu
alasan yang bisa dibenarkan dan dilaksanakan dengan tujuan yang benar pula,
yaitu mencapai kebenaran dan menghilangkan keburukan. Thomas membela keberadaan
perang yang dibenarkan dengan merujuk pada ajaran Yesus “barang siapa
menggunakan pedang, ia akan binasa oleh pedang” (Mat 26:52). Menurutnya, hal
itu berlaku hanya bagi rakyat sipil yang semena-mena mau bertindak seperti
“tentara liar”. Kemudian benar pula Yesus pernah bersabda, “jangan kamu melawan
orang yang berbuat jahat untuk kamu” (Mat 5:9). Kendati demikian, bagi Thomas
Aquinas, hal ini bukan berarti kita membiarkan kejahatan merajalela di bumi
tanpa ada sanksi apa-apa. Pandangan kedua tokoh inilah yang menjadi landasan
pemikiran-pemikiran berikut tentang perang yang benar, termasuk dalam ajaran
Gereja Katolik.[23]
II. PERANG MENURUT PANDANGAN GEREJA KATOLIK
1. Pengantar
Gereja Katolik berpendapat bahwa membunuh, dalam
pengertian umum, secara moral tidak dapat diterima. Gereja Katolik mengatakan
bahwa membunuh dengan segala nuansanya adalah dosa. Manusia tidak mempunyai hak
untuk meniadakan nyawa sesamanya. Perang tidak pernah dianggap sebagai sesuatu
yang baik, namun kadang-kadang dibutuhkan. Dalam hal ini untuk pembelaan diri,
bahkan kerap kali menjadi pilihan terakhir untuk menciptakan suatu kebaikan
bersama.
Seturut perkembangan zaman, oleh para teolog, sebuah
peperangan dapat dibenarkan sejauh memiliki lima syarat, yaitu: perang harus
diumumkan oleh otoritas yang berwenang, mempunyai alasan yang benar, jalan
terakhir, mempunyai harapan akan berhasil dan mempunyai intensi yang benar.
2. Konsep Perang yang Dibenarkan
Pemahaman Gereja Katolik tentang perang yang
dibenarkan telah beberapa kali mengalami perubahan, bahkan adakalanya konsep
perang tersebut juga ditolak. Perubahan dan penolakan tersebut terjadi karena
muncul senjata-senjata modern yang semakin rumit dan destruktif. Gereja
menyatakan bahwa perang itu dibenarkan apabila dilakukan untuk membela diri dan
menciptakan kebaikan bersama. Dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman yang
demikian, masih dipertahankan gereja Katolik sampai sekarang, meskipun
dirumuskan secara lebih sistematis dan terperinci.
Para Paus abad ke-20 sampai sekarang memberikan
pendapat yang berbeda mengenai adanya perang. Tetapi meskipun berbeda, dari
pendapat-pendapat mereka dapat ditarik satu benang merah bahwa mereka masih
dapat menerima perang sebagai pilihan terakhir untuk membela diri dan
menciptakan kebaikan bersama.[24]
Sesudah perang Dunia II, Paus Pius XII[25]
kerap mengangkat masalah perang dalam tulisan-tulisannya. Pada awalnya, Paus
ini menerima tiga syarat perang yang dapat dibenarkan, yaitu: membela diri
terhadap agresi, membalas kejahatan, dan mengembalikan hak-hak yang dilanggar.
Tetapi melihat perkembangan teknologi yang semakin destruktif ia pun
memangkasnya menjadi satu saja, yakni, membela diri terhadap agresi. [26]
Pacem in Terris (PT)
adalah dokumen ajaran sosial Gereja Katolik pertama yang menanggapi masalah
perdamaian dan perang. Pacem in Terris (PT) dikeluarkan oleh Paus
Yohanes XXIII[27]
pada tahun 1963. Ensiklik ini menekankan perlunya melindungi dan memperjuangkan
perdamaian. Tetapi hanya sebagian kecil dari ensiklik ini yang berbicara
tentang kekerasan dan perang. Dokumen ini tidak secara eksplisit
mengakui hak untuk membela diri terhadap agresi (perang), melainkan juga tidak
secara eksplisit mengecam perang. Paus Yohanes XXIII hanya menyerukan pelucutan
senjata, itu pun harus dilakukan secara bersama. Gagasan yang paling menarik
dalam PT adalah: di sini dibicarakan masalah perdamaian dalam kaitannya
dengan perang.[28]
Paus Yohanes XXIII, dalam PT menyatakan bahwa
ia menerima senjata sebagai strategi penggentar meskipun ia tidak secara
eksplisit membelanya. Ia mengatakan bahwa meskipun daya kekuatan dasyat dari
senjata modern hanya dipakai untuk penggentar, ada cukup alasan untuk menjadi
takut jangan-jangan percobaan nuklir tersebut diteruskan untuk tujuan perang.
Karena kalau perang diteruskan, maka akan muncul bahaya yang serius yang
mengancam pelbagai jenis kehidupan di bumi.[29]
Dua tahun kemudian, konsili Vatikan II melalui Gaudium
et Spes (GS)[30] menerima beberapa perspektif dari kaum Pasifis tetapi
tidak membuang sama sekali pandangan perang yang benar.[31]
Ketakutan perang modern “mendesak kami untuk menilai perang dengan pandangan
yang baru sama sekali”.[32]
Sikap atau pendekatan baru yang pasifis ini memasukkan
dua perubahan dalam ajaran Gereja Katolik Pertama, Gereja menerima posisi
pasifis yang menentang pemakluman kekerasan. Pasifis ini mengusulkan agar dalam
berhadapan dengan perang, orang Kristen hanya boleh memakai cara tanpa
kekerasan. Namun dengan sebuah pesan agar hal ini dilakukan tanpa menimbulkan
kerugian bagi hak dan kewajiban orang lain atau komunitas itu sendiri.[33]
Perubahan kedua yang dianjurkan GS adalah Gereja menerima pandangan
orang-orang yang tidak mau pergi berperang. GS tidak membuat distingsi
antara keberatan pergi ke semua perang dan keberatan untuk pergi ke perang
tertentu.[34]
Tetapi yang pasti dengan pernyataan ini, Gereja
memberi kebebasan kepada umat Katolik untuk memilih sesuai dengan suara
hatinya. Posisi ini sebelumnya ditentang oleh Paus Pius XII. Ia mengatakan
bahwa semua orang wajib ikut berperang apabila pemerintah yang sah yang
mengumumkan perang tersebut.[35]
Dengan pernyataan di atas bukan berarti Gereja Katolik
menolak prinsip perang yang benar. GS menggarisbawahi bahwa Gereja dalam
keadaan terpaksa juga harus berpegang pada prinsip perang yang dibenarkan. Hal
itu nampak dalam dua poin yang terkandung dalam GS, yaitu: pertama, GS
mengakui hak sah untuk membela diri sebagai tindakan terakhir. Tetapi selama
akan ada bahaya perang, dan tidak ada kewibawaan internasional yang berwenang
dan dilengkapi upaya-upaya yang memadai selama itu […] pemerintah-pemerintah
tidak dapat diingkari haknya atas pembelaan negara mereka yang sah.[36]
Kedua, GS mengecam perang – tidak secara
eksplisit – atas dasar prinsip perang yang benar, yang memilih-milih serta
melindungi mereka yang tidak berperang. Setiap perang yang dijalankan tanpa
pembedaan, membasmi semua wilayah yang luas beserta penduduknya adalah
kejahatan melawan Allah dan manusia. Gereja mengatakan bahwa perang yang
demikian dengan tegas dan tanpa keraguan sedikit pun harus dikecam. [37]
Sementara Paus Yohanes Paulus II, dalam Centesimus
Annus (CA)[38] memperlihatkan reaksi negatif terhadap perang: “Jangan
pernah ada perang lagi! Jangan!”. Dia melukiskan perang sebagai “yang
menghancurkan hidup orang yang tak bersalah.”[39].
selain itu, Paus Yohanes Paulus II juga menekankan sebuah tanggung jawab
kolektif tidak hanya untuk menghindari perang , tetapi juga untuk
memperjuangkan pembangunan, keadilan dan perdamaian. Jelas sekali penolakan
Paus Yohanes Paulus II terhadap perang dan pengembangan senjata. Tetapi ia juga
memperlihatkan bahwa dia tidak akan mengecam pemakaian kekerasan secara
terbatas terhadap agresi, meskipun ia tidak mengembangkan tesis ini secara
eksplisit.[40]
Paus Yohanes Paulus II kerap mengecam perlombaan
senjata, terutama akibatnya bagi kaum miskin. Dia memberi kesan bahwa
pengembangan senjata tidak akan dapat dibatasi, tetapi ia tidak pernah
menyerukan pelucutan senjata secara sepihak. Dia mengecam Perang Teluk, tetapi
bukan berarti dengan kecaman itu dia ingin mengatakan bahwa ia seorang pasifis.[41]
Paus Yohanes Paulus II menegaskan:
“Perang pada umumnya tidak menyelesaikan masalah yang
diperjuangkan dan karenanya, kecuali menimbulkan kerusakan yang dahsyat,
akhirnya juga terbukti sia-sia. Perang adalah kekalahan bagi umat manusia.
Hanya dalam perdamaian dapat dijamin hormat bagi martabat manusia dan hak-hak
manusia yang tak terhapuskan.”[42]
Demikianlah pada awalnya pemahaman Gereja Katolik atas
perang, bahwa Gereja Katolik dapat menerima perang sebagai jalan terakhir untuk
membela diri dan demi menciptakan kebaikan bersama. Dalam perkembangan zaman
selanjutnya, para teolog dan Magisterium Gereja merumuskan norma-norma yang
menjadi pegangan bagi Gereja Katolik hingga sekarang. Norma-norma itu merupakan
syarat-syarat yang memperbolehkan suatu bangsa dapat membela diri secara
militer.[43]
3. Syarat-syarat Perang yang Dibenarkan
3.1. Pengumuman dari Otoritas yang Berwenang
Katekismus Gereja Katolik (KGK) mendefinisikan bahwa
orang-orang yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memutuskan perang
adalah otoritas yang berwenang (pemerintah). Pengumuman otoritas dalam arti
tertentu dapat dipandang sebagai prasyarat untuk syarat-syarat lainnya. Tugas
utama pemerintah adalah melindungi hak kodrati setia warga negara dari segala
ancaman yang dapat membahayakan dan merugikan warga negaranya. Oleh karena itu,
ada kalanya pemerintah mempunyai panggilan untuk bertindak dengan tegas dan
keras. Tetapi semua itu hendaknya dilakukan dalam norma-norma yang telah
ditetapkan agar tidak terjadi perang yang membabi buta. Lazimnya hanya
pemerintahan resmi suatu negara yang memiliki kewenangan untuk menyatakan
perang, karena hanya dialah yang memiliki kendali atas angkatan bersenjata dan
bisa mengerahkan rakyat.[44]
3.2 Alasan yang Benar
Perang yang diperbolehkan secara hukum adalah perang
yang dilakukan dengan alasan yang benar, yakni perang yang dilakukan demi
melawan suatu bahaya yang tak dapat disangkal dan demi mempertahankan kebaikan
vital dari suatu komunitas. Alasan yang benar mengandaikan bahwa negara musuh
menyerang secara semena-mena.[45]
Adanya suatu alasan yang benar harus pasti secara
moral. Alasan-alasan yang pasti secara moral tersebut tidak saja mengizinkan
negara yang bersangkutan untuk berperang membela diri, tetapi juga mengizinkan
dan membenarkan intervensi dari luar demi kepentingan negara-negara lain yang
lebih kecil, yang diserang hak-haknya. Selain itu, setiap orang berhak atas
hidup. Oleh karena itu, setiap orang mempunyai kewajiban untuk menghormati
hidup orang lain. Dapat dikatakan bahwa setiap orang mempunyai alasan yang
benar untuk membela hidupnya. [46]
3.3 Jalan Terakhir
Gereja menegaskan dalam membela hidupnya, suatu negara
atau masyarakat dan pemerintahan wajib berusaha untuk menghindari perang dan
menyelesaikan segala permasalahan dengan damai dan adil. “Tiap warga negara dan
tiap pejabat berkewajiban mengusahakan secara aktif mencegah perang.”[47]
Perang tidak hanya menuntut adanya alasan yang benar,
tetapi juga suatu usaha atau tindakan yang diambil untuk menangkis serangan
pihak lain. Jalan terakhir adalah salah satu syarat yang harus dipegang teguh
sebelum mengumumkan perang. Jalan terakhir mengandaikan bahwa semua cara damai
untuk mengakhiri pertikaian tidak menghasilkan jalan keluar. KGK menegaskan
sebelum mengumumkan perang, “semua cara yang lain untuk mengakhiri pertikaian
harus terbukti sebagai tidak efektif.”[48]
3.4 Harapan yang Masuk Akal akan Berhasil
Sebelum mengumumkan perang, suatu negara harus yakin
bahwa peperangan yang mereka lakukan akan berhasil. Perang tersebut mempunyai
harapan yang masuk akal akan berhasil. Oleh karena itulah para teolog menuntut
agar peperangan yang terjadi mesti ditata secara memadai agar segera dicapai
kemenangan atas musuh dan menghindari perang yang berkepanjangan. Akan tetapi
apabila suatu negara sudah sangat yakin bahwa perang yang mereka lakukan tidak
akan berhasil, maka lebih baik mereka menunda niatnya untuk berperang, karena
peperangan yang demikian akan menimbulkan akibat yang lebih buruk lagi.[49]
3.5 Intensi yang Benar
Intensi yang benar ditentukan oleh adanya sebab yang
benar. Selain itu, intensi yang benar juga mempunyai tujuan untuk memurnikan
motivasi, misalnya bebas dari kebencian dan balas dendam. Kebencian dan balas
dendam bisa mencemarkan pertimbangan untuk mengambil keputusan perang atau
tidak. Intensi yang buruk memang tidak melenyapkan alasan obyektif yang sah,
tetapi mengurangi kepercayaan akan pelakunya.[50]
III. PENUTUP
1. Rangkuman Umum
Perang merupakan salah satu warisan budaya manusia
yang selalu terjadi hampir setiap tahun. Perang terjadi dalam konteks hubungan
antara dua atau beberapa negara atau kelompok manusia dengan menggunakan
satuan-satuan militer terorganisir secara sistematik. Pada awalnya perang hanya
sebuah perang terbatas antara dua atau beberapa negara yang bersengketa, dengan
menggunakan senjata konvensional. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman,
perang menjadi suatu konflik yang tak terbatas. Bahkan perang pada zaman
sekarang ini cenderung mengarah kepada perang total, yang melibatkan banyak
negara dan menggunakan segala jenis senjata termasuk nuklir dan biokimia.
Bagi sebagian besar orang, perang merupakan kegiatan
keji yang hanya mengakibatkan banyak penderitaan baik secara fisik maupun
psikis. Akan tetapi tidak sedikit orang termasuk pihak Gereja Katolik yang
menganggap perang sebagai suatu usaha mulia untuk membela diri dari agresi
militer negara lain. Perang yang dimaksud dapat dibenarkan apabila memenuhi
beberapa kriteria, yaitu perang diumumkan oleh otoritas yang berwenang, alasan
yang benar, jalan terakhir, harapan akan berhasil, dan intensi yang benar.
2. Refleksi
Perang dari dirinya sendiri bertentangan dengan
nilai-nilai cinta kasih yang ada dalam keempat injil. Perang tidak mengenal
rasa tanggung jawab atas martabat manusia. Perang merupakan tindakan kejahatan
yang memusnahkan manusia. Oleh karena itulah Gereja Katolik menolak peperangan.
Tetapi yang sulit dan patut dipikirkan adalah hak untuk membela diri sebagai
sesuatu yang dibenarkan iman. Setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban untuk
membela diri dari ancaman orang lain. Berhadapan dengan situasi ini, Gereja
Katolik tidak dapat mengambil sikap yang radikal untuk menolak perang. Gereja
tidak membatasi hak dasariah seorang manusia yang bermartabat untuk membela dan
mempertahankan dirinya. Akan tetapi pembelaan diri itu harus tetap berpedoman
pada norma-norma yang telah ditetapkan. Maka, sampai saat ini Gereja Katolik
secara moral masih menerima pembelaan diri dengan menggunakan perang. (Paskalis
Hanoe)
No comments:
Post a Comment