Monday, January 20, 2020

PANDANGAN GEREJA KATOLIK TERHADAP PERANG


Dewasa ini dalam berbagai media massa setiap hari kita dapat mendengar sekaligus membaca seputar peperangan yang sedang terjadi baik antarnegara maupun antarbangsa atau manusia. Alasan yang mau diperjuangkan dari tindakan ini beraneka bentuk: “ membasmi teroris, menegakkan kebenaran dan keadilan bahkan sampai tindakan membela diri dari serangan bangsa lain, dll. Berhadapan dengan fenomena ini, kita pun dapat bertanya: “apakah perang itu dapat dibenarkan bila dilihat dari tinjauan iman Katolik? 
Menyikapi pertanyaan ini, Agustinus dari Hippo menjawab bahwa “Ada”. Menurutnya, perang itu dapat dibenarkan apabila untuk membela diri dari serangan bangsa lain. Dapat dikatakan bahwa perang itu menjadi tidak dibenarkan ketika bukannya digunakan untuk membela diri. Di samping itu, peperangan tersebut tidak boleh didasarkan pada kebencian dan balas dendam. Perang harus ditunjukkan demi menciptakan perdamaian dan kebaikan bersama.
Sementara Thomas Aquinas menyusun teori perang yang benar dengan menetapkan tiga syarat yakni: “dilakukan atas perintah penguasa yang berwenang, dimulai karena satu alasan yang bisa dibenarkan dan dilaksanakan dengan tujuan yang benar pula, yaitu mencapai kebenaran dan menghilangkan keburukan. Dengan demikian, pandangan kedua tokoh inilah yang mendasari perumusan Gereja Katolik mengenai konsep perang yang benar.
Gereja Katolik merumuskan bahwa suatu perang dapat dikatakan benar apabila memenuhi lima syarat, yakni: “perang diumumkan oleh otoritas yang berwenang, perang mempunyai alasan yang benar, perang merupakan satu-satunya jalan keluar, perang mempunyai harapan akan berhasil dan perang mempunyai intensi yang benar.
 I. GAMBARAN UMUM PERANG
 1. Pengantar
Setelah menguraikan gambaran umum makalah ini dalam bab pendahuluan, sekarang penulis akan menguraikan gambaran umum mengenai perang. Penulis akan mengawali pembahasan ini dengan menguraikan pengertian perang, setelah itu akan diuraikan klasifikasi perang.
2. Pengertian dan Klasifikasi Perang
2.1 Pengertian Perang
Secara etimologis perang atau war (Inggris) berasal dari kata werra (Perancis), yang berarti ketidaksepakatan (discord). Kata discord erat kaitannya dengan kata bellum (duel atau perang) dalam bahasa Latin dan Polemos (kontroversi agresif) dalam bahasa Yunani. Maka, perang sering dipahami sebagai suatu kontroversi agresif antara dua negara, agama, atau pun suku.[1]
Dalam zaman sekarang ini perang lazim dipahami sebagai wujud suatu derajat konflik antarnegara yang berintensitas tinggi. Dalam pemahaman konsepsionalnya, perang dapat didefinisikan sebagai: Pertama, manifestasi sikap politik nasional dengan menggunakan kekerasan, untuk memaksa negara lawan tunduk terhadap kemauan negara tersebut. Esensi utama perang adalah kekerasan. Atau sebaliknya, penggunaan kekerasan tersebut diarahkan untuk melawan paksaan lawan.[2]
Kedua, perang juga dimengerti sebagai upaya terakhir untuk mempertahankan diri (negara) dari upaya pemusnahan oleh lawan, dengan menggunakan segala kekuatan negara. Apabila suatu perang didasarkan pada suatu alasan untuk mempertahankan negara dari agresi negara lain, maka perang tersebut dihayati sebagai perang nasional.[3]
Ketiga, perang dilihat dari perspektif yuridis. Secara yuridis perang dipahami sebagai situasi dan kondisi hukum yang memungkinkan dua atau lebih pihak yang bermusuhan menyelesaikan pertikaiannya secara kekerasan dengan kekuatan persenjataan. Kini, perang semakin lazim dipahami sebagai perwujudan bentuk konflik dalam derajat intensitas yang relatif tinggi. Konflik yang belum tinggi dapat dimanifestasikan dalam bentuk subversi dari suatu negara terhadap negara lain, aksi teror dan propaganda.[4]
2.2 Klasifikasi Perang
Perang dengan segala jenisnya mempunyai unsur-unsur fundamental yang dapat membedakannya satu sama lain. Maka, penulis akan mengklasifikasikan perang dalam tiga bagian besar, yaitu perang yang didasarkan pada strategi, senjata yang digunakan dan perang yang didasarkan pada alasan untuk memulainya.
2.2.1 Perang Berdasarkan Strategi yang Digunakan
Taktik perang ialah rencana atau tindakan yang bersistem yang digunakan dalam peperangan untuk mencapai suatu tujuan. Tindakan yang bersistem ini akan menjadi panduan atau pegangan bagi suatu negara dalam melakukan peperangan. Semua kegiatan peperangan akan didasarkan dan mengacu pada taktik perang yang telah ditetapkan.
2.2.1.1 Perang Gerilya
Istilah gerilya berasal dari bahasa Spanyol, guerrilla yang artinya perang kecil, lahir dari perjuangan para petani Spanyol ketika menghadapi invasi militer Perancis di bawah pemerintahan Napoleon. Sekarang, istilah perang gerilya dipakai untuk menyebut perang yang melibatkan unit tempur ireguler yang secara militer lemah, yakni unit-unit tempur non-tentara formal. Faktor yang terbukti sangat menentukan sukses atau tidaknya sebuah perang gerilya adalah dukungan masyarakat lokal, yang kemudian diperluas hingga lingkup negara secara keseluruhan.[5]
Perang gerilya merupakan perang yang dilakukan terus-menerus dengan mobilitas tinggi untuk mengganggu dan menggagalkan setiap usaha lawan. Dalam perang ini kelompok (warga negara) yang bergerilya tidak melibatkan diri dalam suatu pertempuran yang berkepanjangan, sehingga lawan merasa frustrasi dan tidak yakin dapat meraih sasaran perangnya. Apabila lawan telah merasa frustrasi dan merasa bahwa sasaran perangnya tidak dapat diraih, maka situasi dan kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan serangan akhir secara frontal.[6]
2.2.1.2 Perang Rakyat Semesta
Perang rakyat semesta (Perata) merupakan suatu bentuk perang yang bersifat semesta, yang melibatkan seluruh kekuatan nasional. Dalam pelaksanaannya Perata mengandalkan kekuatan kelompok militan sebagai unsur utama untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan suatu bangsa atau negara.[7] Perata merupakan jenis perang sejak abad ke-20, apalagi ketika senjata nuklir dan biokimia sudah dipergunakan dalam peperangan. Dalam perang nuklir dan biokimia mau tidak mau seluruh rakyat harus ikut ambil bagian, karena mereka pasti akan kena imbasnya, baik langsung maupun tidak langsung.[8]
Perata merupakan salah satu strategi perang yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pertahanan keamanan di Indonesia hingga sekarang. Perang ini dibentuk oleh para pimpinan TNI pada tahun 1960, tetapi pada tahun 1970-an perang ini diganti nama menjadi Pertahanan Rakyat Semesta (hankamrata).[9]
2.2.1.3 Perang Jangka Panjang
Perang jangka panjang merupakan perang yang berlarut-larut dan berlangsung dalam jangka panjang. Perang ini menggunakan strategi mengelakkan kekalahan pihak sendiri. Secara prinsipial perang jangka panjang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perang gerilya, karena dalam pelaksanaannya perang jangka panjang tidak selalu berperang secara frontal. Kadang kala perang jangka panjang juga menggunakan taktik perang gerilya, yang berusaha membuat musuh frustrasi dan merasa tidak mampu meraih tujuan perang. Perang seperti ini lazimnya dilakukan oleh pihak yang lemah dalam menghadapi pihak yang kuat.[10]
2.2.2 Perang Berdasarkan Peralatan (Senjata) yang Digunakan.
Pengklasifikasian perang berdasarkan peralatan yang digunakan didasarkan pada tingkat kemajuan dan efektivitas peralatan yang digunakan untuk berperang. Penulis akan membagi perang ini dalam tiga bagian, yaitu: Perang Konvensional, Perang Nuklir, Perang Biologi dan Kimia.
2.2.2.1 Perang Konvensional
Perang konvensional ialah perang yang menggunakan persenjataan non-nuklir. Artinya, suatu peperangan yang tidak menggunakan bahan nuklir dan dalam prakteknya efek buruk yang ditimbulkan masih terbatas serta dapat dikontrol.[11] Perang konvensional dapat dibagi menjadi tiga bagian: Pertama adalah Perang Kuno. Perang kuno merupakan jenis perang yang pertama kali dikenal manusia. Ciri-ciri perang kuno yaitu, pihak yang bertikai bertemu secara “jantan” di tempat tertentu, kemudian bertarung untuk menyelesaikan masalah mereka, hingga salah satu di antaranya menyerah kalah atau mati. Cara perang seperti ini merupakan cara perang yang dianggap paling ksatria, yang dikenal dengan nama perang tanding atau duel. [12]
Pada Abad Pertengahan cara perang kuno cukup populer untuk menyelesaikan masalah di antara dua orang terhormat dengan cara adu pedang, atau dengan cara saling beradu revolver dalam jarak tertentu. Akan tetapi sejak dikenalnya sistem pengoordinasian massa ke dalam suatu bentuk pasukan reguler yang kemudian dijadikan sarana untuk berperang, cara berperang seperti ini kemudian hanya dijadikan semacam “simbol kehormatan” antarbangsawan.[13]
Kedua adalah Perang Semi Statis. Perang ini disebut semi statis karena adanya pihak yang dinamis (pihak penyerang) dan ada pihak yang statis (pihak yang bertahan). Perang semi statis terjadi ketika manusia mulai mengenal pengoordinasian pasukan dan mulai meninggalkan bentuk perang kuno. Ciri dari perang semi statis adalah diciptakannya benteng-benteng dan adanya pengepungan terhadap benteng-benteng musuh. Perang ini sangat populer Abad Pertengahan dan era Perang Salib.[14] Pada masa perang semi statis inilah diperkenalkan senjata baru yaitu meriam.
Ketiga adalah Perang Statis. Perang ini disebut statis karena pada masa ini kedua pihak yang berperang tidak lagi menyerang atau mengepung, tetapi lebih statis dengan diam menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Perang semi statis berlangsung cukup lama sampai manusia mengenal senjata api genggam (pistol dan senapan). Setelah manusia mengenal senjata api maka perang semi statis berubah menjadi perang statis. Produk pertama senjata api tidak praktis, karena membutuhkan waktu yang lama untuk mengisi ulang amunisi. Senjata tersebut kemudian disebut dengan musket. Senjata ini sering menimbulkan masalah ketika digunakan. Maka, dilakukan berbagai perbaikan hingga dihasilkan senjata yang cukup nyaman dioperasikan meskipun pada dasarnya masih cukup merepotkan. [15]
Pada masa perang statis senjata api masih dianggap barang murahan yang merusak tatanan sportivitas perang karena mampu membunuh lawan dari jarak jauh. Keadaan ini kemudian memaksa para ahli strategi perang untuk mengubah cara berperang dari yang sebelumnya semi agresif menyerang dengan kekuatan besar menjadi lebih statis dengan diam menunggu saat yang tepat untuk menyerang.[16]
2.2.2.2 Perang Nuklir (Bom Atom)
Perang nuklir adalah perang yang menggunakan senjata nuklir. Senjata nuklir merupakan senjata yang memiliki daya penghancuran luar biasa, sukar dibatasi dan dikontrol. Daya rusak senjata ini berasal dari energi yang dihasilkan melalui peristiwa-peristiwa pembelahan (fisi) dan penggabungan (fusi) inti-inti atom. [17] Senjata nuklir akan menimbulkan radiasi, yang apabila diterima dalam jumlah besar akan mengakibatkan kematian. Partikel-partikel debu radioaktif, endapan-endapan dari awan yang tertiup angin, juga dapat membunuh tumbuhan, hewan dan manusia. Akibat jangka panjang radiasi, sekitar sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan, dapat menyebabkan kematian serta kanker pada manusia. Sedangkan kerusakan-kerusakan genetis akan terlihat pada generasi-generasi berikutnya.[18]
2.2.2.3 Perang Biologi dan Kimia
Perang biologi dan kimia (biokimia) ialah perang yang melibatkan penggunaan bahan kimia dan biologi (bakteri, virus, dan racun) untuk menimbulkan kerusakan, kematian atau mengurangi daya tempur lawan. Zat-zat racun senjata biokimia menyerang sistem saraf, pusat pernapasan, kulit, mata, hidung dan tenggorokan. Senjata biokimia biasanya efektif tanpa menghancurkan bangunan, namun sangat destruktif. Disebut destruktif karena dapat membunuh segala jenis makhluk hidup dalam jumlah yang sangat banyak dan berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama. Senjata biokimia tidak hanya berakibat buruk terhadap pasukan lawan, tetapi juga terhadap penduduk negara lawan, hewan, hutan, ladang dan tanah pertanian. Bahkan pasukan negara yang menggunakan senjata biokimia pun dapat kena imbasnya.[19]
Pembuatan senjata biokimia relatif lebih murah dibandingkan dengan pembuatan senjata nuklir atau senjata canggih lainnya. Meskipun demikian senjata ini mempunyai efek buruk yang lebih besar dan luas dibandingkan senjata-senjata modern lainnya. “Amunisi” senjata kimia diambil dari bahan kimia beracun, yaitu setiap bahan yang karena pengaruh kimianya dapat menyebabkan kematian, efek tak berdaya, cacat sementara, atau bahaya permanen pada manusia atau pun binatang. Sedangkan senjata biologi biasanya menggunakan mikroorganisme.[20]
3. Perang yang Benar secara Umum
Agustinus tidak pernah merumuskan secara sistematis pembahasan mengenai perang. Pembahasannya tentang perang tersebar dalam berbagai tulisannya. Agustinus menyinggung perang dalam konteks pembelaan iman kekristenan berhadapan dengan Kerajaan Romawi. Kerajaan Romawi menuduh kekristenan sebagai penyebab kekalahan bangsa Romawi berhadapan dengan bangsa Goth yang dipimpin oleh Alaric. Orang-orang Romawi melihat bahwa hukum dan prinsip kasih kekristenan telah melemahkan semangat orang-orang Kristen untuk berjuang bagi negara. Menyikapi hal ini, Agustinus dalam bukunya “The City of God” menuliskan bahwa kekristenan sama sekali tidak meniadakan semangat patriotisme, tetapi justru mengangkat semangat itu hingga ke level ketaatan iman. Perintah agar kita “tidak membalas kejahatan dengan kejahatan” (Mat 5:39), menurutnya bukanlah larangan secara mutlak bagi perang itu sendiri, melainkan bagi kebencian yang merupakan bahaya sebenarnya di dalam hubungan antara sesama manusia. Jadi, perang dapat dilakukan, sejauh tidak didasarkan pada dendam dan ingin membalas melebihi apa yang sepantasnya.[21]
Agustinus juga berpendapat bahwa perang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak pemegang kekuasaan politik untuk tetap mempertahankan perdamaian. Perang dapat dibenarkan apabila dilakukan untuk mempertahankan perdamaian di muka bumi dan dilakukan dalam kebaikan. Oleh karena itu, menurutnya, perang yang dibenarkan hanya dapat dilakukan karena ketidakadilan yang diakibatkan oleh penyerang. Perang bukanlah cara positif untuk meraih keadilan dan perdamaian, melainkan sebuah cara negatif untuk mencegah ketidakadilan. Dengan demikian, menurut Agustinus, perang hanya dapat dibenarkan sejauh memenuhi kriteria sebagai berikut; perang dapat dilakukan semata-mata hanya untuk mewujudkan perdamaian. Perang ditujukan untuk mempertahankan dan membela keadilan. Di samping itu, perang harus diumumkan oleh otoritas yang berwenang. Sikap dalam berperang harus adil. Sementara balas dendam dan kekejian tidak diizinkan dalam peperangan.[22]
Lebih lanjut Thomas Aquinas mengadaptasikan dan menguraikan konsep perang yang dibenarkan dalam Summa Theologicanya. Menurutnya, peperangan hanya dibenarkan apabila memenuhi tiga kriteria, di antaranya; dilakukan atas perintah penguasa yang sah, dimulai karena satu alasan yang bisa dibenarkan dan dilaksanakan dengan tujuan yang benar pula, yaitu mencapai kebenaran dan menghilangkan keburukan. Thomas membela keberadaan perang yang dibenarkan dengan merujuk pada ajaran Yesus “barang siapa menggunakan pedang, ia akan binasa oleh pedang” (Mat 26:52). Menurutnya, hal itu berlaku hanya bagi rakyat sipil yang semena-mena mau bertindak seperti “tentara liar”. Kemudian benar pula Yesus pernah bersabda, “jangan kamu melawan orang yang berbuat jahat untuk kamu” (Mat 5:9). Kendati demikian, bagi Thomas Aquinas, hal ini bukan berarti kita membiarkan kejahatan merajalela di bumi tanpa ada sanksi apa-apa. Pandangan kedua tokoh inilah yang menjadi landasan pemikiran-pemikiran berikut tentang perang yang benar, termasuk dalam ajaran Gereja Katolik.[23]
 II. PERANG MENURUT PANDANGAN GEREJA KATOLIK
 1. Pengantar
Gereja Katolik berpendapat bahwa membunuh, dalam pengertian umum, secara moral tidak dapat diterima. Gereja Katolik mengatakan bahwa membunuh dengan segala nuansanya adalah dosa. Manusia tidak mempunyai hak untuk meniadakan nyawa sesamanya. Perang tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang baik, namun kadang-kadang dibutuhkan. Dalam hal ini untuk pembelaan diri, bahkan kerap kali menjadi pilihan terakhir untuk menciptakan suatu kebaikan bersama.
Seturut perkembangan zaman, oleh para teolog, sebuah peperangan dapat dibenarkan sejauh memiliki lima syarat, yaitu: perang harus diumumkan oleh otoritas yang berwenang, mempunyai alasan yang benar, jalan terakhir, mempunyai harapan akan berhasil dan mempunyai intensi yang benar.
 2. Konsep Perang yang Dibenarkan
Pemahaman Gereja Katolik tentang perang yang dibenarkan telah beberapa kali mengalami perubahan, bahkan adakalanya konsep perang tersebut juga ditolak. Perubahan dan penolakan tersebut terjadi karena muncul senjata-senjata modern yang semakin rumit dan destruktif. Gereja menyatakan bahwa perang itu dibenarkan apabila dilakukan untuk membela diri dan menciptakan kebaikan bersama. Dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman yang demikian, masih dipertahankan gereja Katolik sampai sekarang, meskipun dirumuskan secara lebih sistematis dan terperinci.
Para Paus abad ke-20 sampai sekarang memberikan pendapat yang berbeda mengenai adanya perang. Tetapi meskipun berbeda, dari pendapat-pendapat mereka dapat ditarik satu benang merah bahwa mereka masih dapat menerima perang sebagai pilihan terakhir untuk membela diri dan menciptakan kebaikan bersama.[24]
Sesudah perang Dunia II, Paus Pius XII[25] kerap mengangkat masalah perang dalam tulisan-tulisannya. Pada awalnya, Paus ini menerima tiga syarat perang yang dapat dibenarkan, yaitu: membela diri terhadap agresi, membalas kejahatan, dan mengembalikan hak-hak yang dilanggar. Tetapi melihat perkembangan teknologi yang semakin destruktif ia pun memangkasnya menjadi satu saja, yakni, membela diri terhadap agresi. [26]
Pacem in Terris (PT) adalah dokumen ajaran sosial Gereja Katolik pertama yang menanggapi masalah perdamaian dan perang. Pacem in Terris (PT) dikeluarkan oleh Paus Yohanes XXIII[27] pada tahun 1963. Ensiklik ini menekankan perlunya melindungi dan memperjuangkan perdamaian. Tetapi hanya sebagian kecil dari ensiklik ini yang berbicara tentang kekerasan dan perang. Dokumen ini tidak secara eksplisit mengakui hak untuk membela diri terhadap agresi (perang), melainkan juga tidak secara eksplisit mengecam perang. Paus Yohanes XXIII hanya menyerukan pelucutan senjata, itu pun harus dilakukan secara bersama. Gagasan yang paling menarik dalam PT adalah: di sini dibicarakan masalah perdamaian dalam kaitannya dengan perang.[28]
Paus Yohanes XXIII, dalam PT menyatakan bahwa ia menerima senjata sebagai strategi penggentar meskipun ia tidak secara eksplisit membelanya. Ia mengatakan bahwa meskipun daya kekuatan dasyat dari senjata modern hanya dipakai untuk penggentar, ada cukup alasan untuk menjadi takut jangan-jangan percobaan nuklir tersebut diteruskan untuk tujuan perang. Karena kalau perang diteruskan, maka akan muncul bahaya yang serius yang mengancam pelbagai jenis kehidupan di bumi.[29]
Dua tahun kemudian, konsili Vatikan II melalui Gaudium et Spes (GS)[30] menerima beberapa perspektif dari kaum Pasifis tetapi tidak membuang sama sekali pandangan perang yang benar.[31] Ketakutan perang modern “mendesak kami untuk menilai perang dengan pandangan yang baru sama sekali”.[32]
Sikap atau pendekatan baru yang pasifis ini memasukkan dua perubahan dalam ajaran Gereja Katolik Pertama, Gereja menerima posisi pasifis yang menentang pemakluman kekerasan. Pasifis ini mengusulkan agar dalam berhadapan dengan perang, orang Kristen hanya boleh memakai cara tanpa kekerasan. Namun dengan sebuah pesan agar hal ini dilakukan tanpa menimbulkan kerugian bagi hak dan kewajiban orang lain atau komunitas itu sendiri.[33] Perubahan kedua yang dianjurkan GS adalah Gereja menerima pandangan orang-orang yang tidak mau pergi berperang. GS tidak membuat distingsi antara keberatan pergi ke semua perang dan keberatan untuk pergi ke perang tertentu.[34]
Tetapi yang pasti dengan pernyataan ini, Gereja memberi kebebasan kepada umat Katolik untuk memilih sesuai dengan suara hatinya. Posisi ini sebelumnya ditentang oleh Paus Pius XII. Ia mengatakan bahwa semua orang wajib ikut berperang apabila pemerintah yang sah yang mengumumkan perang tersebut.[35]
Dengan pernyataan di atas bukan berarti Gereja Katolik menolak prinsip perang yang benar. GS menggarisbawahi bahwa Gereja dalam keadaan terpaksa juga harus berpegang pada prinsip perang yang dibenarkan. Hal itu nampak dalam dua poin yang terkandung dalam GS, yaitu: pertama, GS mengakui hak sah untuk membela diri sebagai tindakan terakhir. Tetapi selama akan ada bahaya perang, dan tidak ada kewibawaan internasional yang berwenang dan dilengkapi upaya-upaya yang memadai selama itu […] pemerintah-pemerintah tidak dapat diingkari haknya atas pembelaan negara mereka yang sah.[36]
Kedua, GS mengecam perang – tidak secara eksplisit – atas dasar prinsip perang yang benar, yang memilih-milih serta melindungi mereka yang tidak berperang. Setiap perang yang dijalankan tanpa pembedaan, membasmi semua wilayah yang luas beserta penduduknya adalah kejahatan melawan Allah dan manusia. Gereja mengatakan bahwa perang yang demikian dengan tegas dan tanpa keraguan sedikit pun harus dikecam. [37]
Sementara Paus Yohanes Paulus II, dalam Centesimus Annus (CA)[38] memperlihatkan reaksi negatif terhadap perang: “Jangan pernah ada perang lagi! Jangan!”. Dia melukiskan perang sebagai “yang menghancurkan hidup orang yang tak bersalah.”[39]. selain itu, Paus Yohanes Paulus II juga menekankan sebuah tanggung jawab kolektif tidak hanya untuk menghindari perang , tetapi juga untuk memperjuangkan pembangunan, keadilan dan perdamaian. Jelas sekali penolakan Paus Yohanes Paulus II terhadap perang dan pengembangan senjata. Tetapi ia juga memperlihatkan bahwa dia tidak akan mengecam pemakaian kekerasan secara terbatas terhadap agresi, meskipun ia tidak mengembangkan tesis ini secara eksplisit.[40]
Paus Yohanes Paulus II kerap mengecam perlombaan senjata, terutama akibatnya bagi kaum miskin. Dia memberi kesan bahwa pengembangan senjata tidak akan dapat dibatasi, tetapi ia tidak pernah menyerukan pelucutan senjata secara sepihak. Dia mengecam Perang Teluk, tetapi bukan berarti dengan kecaman itu dia ingin mengatakan bahwa ia seorang pasifis.[41] Paus Yohanes Paulus II menegaskan:
“Perang pada umumnya tidak menyelesaikan masalah yang diperjuangkan dan karenanya, kecuali menimbulkan kerusakan yang dahsyat, akhirnya juga terbukti sia-sia. Perang adalah kekalahan bagi umat manusia. Hanya dalam perdamaian dapat dijamin hormat bagi martabat manusia dan hak-hak manusia yang tak terhapuskan.”[42]
Demikianlah pada awalnya pemahaman Gereja Katolik atas perang, bahwa Gereja Katolik dapat menerima perang sebagai jalan terakhir untuk membela diri dan demi menciptakan kebaikan bersama. Dalam perkembangan zaman selanjutnya, para teolog dan Magisterium Gereja merumuskan norma-norma yang menjadi pegangan bagi Gereja Katolik hingga sekarang. Norma-norma itu merupakan syarat-syarat yang memperbolehkan suatu bangsa dapat membela diri secara militer.[43]
3. Syarat-syarat Perang yang Dibenarkan
3.1. Pengumuman dari Otoritas yang Berwenang
Katekismus Gereja Katolik (KGK) mendefinisikan bahwa orang-orang yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memutuskan perang adalah otoritas yang berwenang (pemerintah). Pengumuman otoritas dalam arti tertentu dapat dipandang sebagai prasyarat untuk syarat-syarat lainnya. Tugas utama pemerintah adalah melindungi hak kodrati setia warga negara dari segala ancaman yang dapat membahayakan dan merugikan warga negaranya. Oleh karena itu, ada kalanya pemerintah mempunyai panggilan untuk bertindak dengan tegas dan keras. Tetapi semua itu hendaknya dilakukan dalam norma-norma yang telah ditetapkan agar tidak terjadi perang yang membabi buta. Lazimnya hanya pemerintahan resmi suatu negara yang memiliki kewenangan untuk menyatakan perang, karena hanya dialah yang memiliki kendali atas angkatan bersenjata dan bisa mengerahkan rakyat.[44]
3.2 Alasan yang Benar
Perang yang diperbolehkan secara hukum adalah perang yang dilakukan dengan alasan yang benar, yakni perang yang dilakukan demi melawan suatu bahaya yang tak dapat disangkal dan demi mempertahankan kebaikan vital dari suatu komunitas. Alasan yang benar mengandaikan bahwa negara musuh menyerang secara semena-mena.[45]
Adanya suatu alasan yang benar harus pasti secara moral. Alasan-alasan yang pasti secara moral tersebut tidak saja mengizinkan negara yang bersangkutan untuk berperang membela diri, tetapi juga mengizinkan dan membenarkan intervensi dari luar demi kepentingan negara-negara lain yang lebih kecil, yang diserang hak-haknya. Selain itu, setiap orang berhak atas hidup. Oleh karena itu, setiap orang mempunyai kewajiban untuk menghormati hidup orang lain. Dapat dikatakan bahwa setiap orang mempunyai alasan yang benar untuk membela hidupnya. [46]
3.3 Jalan Terakhir
Gereja menegaskan dalam membela hidupnya, suatu negara atau masyarakat dan pemerintahan wajib berusaha untuk menghindari perang dan menyelesaikan segala permasalahan dengan damai dan adil. “Tiap warga negara dan tiap pejabat berkewajiban mengusahakan secara aktif mencegah perang.”[47]
Perang tidak hanya menuntut adanya alasan yang benar, tetapi juga suatu usaha atau tindakan yang diambil untuk menangkis serangan pihak lain. Jalan terakhir adalah salah satu syarat yang harus dipegang teguh sebelum mengumumkan perang. Jalan terakhir mengandaikan bahwa semua cara damai untuk mengakhiri pertikaian tidak menghasilkan jalan keluar. KGK menegaskan sebelum mengumumkan perang, “semua cara yang lain untuk mengakhiri pertikaian harus terbukti sebagai tidak efektif.”[48]
3.4 Harapan yang Masuk Akal akan Berhasil
Sebelum mengumumkan perang, suatu negara harus yakin bahwa peperangan yang mereka lakukan akan berhasil. Perang tersebut mempunyai harapan yang masuk akal akan berhasil. Oleh karena itulah para teolog menuntut agar peperangan yang terjadi mesti ditata secara memadai agar segera dicapai kemenangan atas musuh dan menghindari perang yang berkepanjangan. Akan tetapi apabila suatu negara sudah sangat yakin bahwa perang yang mereka lakukan tidak akan berhasil, maka lebih baik mereka menunda niatnya untuk berperang, karena peperangan yang demikian akan menimbulkan akibat yang lebih buruk lagi.[49]
3.5 Intensi yang Benar
Intensi yang benar ditentukan oleh adanya sebab yang benar. Selain itu, intensi yang benar juga mempunyai tujuan untuk memurnikan motivasi, misalnya bebas dari kebencian dan balas dendam. Kebencian dan balas dendam bisa mencemarkan pertimbangan untuk mengambil keputusan perang atau tidak. Intensi yang buruk memang tidak melenyapkan alasan obyektif yang sah, tetapi mengurangi kepercayaan akan pelakunya.[50]
 III. PENUTUP
 1. Rangkuman Umum
Perang merupakan salah satu warisan budaya manusia yang selalu terjadi hampir setiap tahun. Perang terjadi dalam konteks hubungan antara dua atau beberapa negara atau kelompok manusia dengan menggunakan satuan-satuan militer terorganisir secara sistematik. Pada awalnya perang hanya sebuah perang terbatas antara dua atau beberapa negara yang bersengketa, dengan menggunakan senjata konvensional. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, perang menjadi suatu konflik yang tak terbatas. Bahkan perang pada zaman sekarang ini cenderung mengarah kepada perang total, yang melibatkan banyak negara dan menggunakan segala jenis senjata termasuk nuklir dan biokimia.
Bagi sebagian besar orang, perang merupakan kegiatan keji yang hanya mengakibatkan banyak penderitaan baik secara fisik maupun psikis. Akan tetapi tidak sedikit orang termasuk pihak Gereja Katolik yang menganggap perang sebagai suatu usaha mulia untuk membela diri dari agresi militer negara lain. Perang yang dimaksud dapat dibenarkan apabila memenuhi beberapa kriteria, yaitu perang diumumkan oleh otoritas yang berwenang, alasan yang benar, jalan terakhir, harapan akan berhasil, dan intensi yang benar.
 2. Refleksi
Perang dari dirinya sendiri bertentangan dengan nilai-nilai cinta kasih yang ada dalam keempat injil. Perang tidak mengenal rasa tanggung jawab atas martabat manusia. Perang merupakan tindakan kejahatan yang memusnahkan manusia. Oleh karena itulah Gereja Katolik menolak peperangan. Tetapi yang sulit dan patut dipikirkan adalah hak untuk membela diri sebagai sesuatu yang dibenarkan iman. Setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban untuk membela diri dari ancaman orang lain. Berhadapan dengan situasi ini, Gereja Katolik tidak dapat mengambil sikap yang radikal untuk menolak perang. Gereja tidak membatasi hak dasariah seorang manusia yang bermartabat untuk membela dan mempertahankan dirinya. Akan tetapi pembelaan diri itu harus tetap berpedoman pada norma-norma yang telah ditetapkan. Maka, sampai saat ini Gereja Katolik secara moral masih menerima pembelaan diri dengan menggunakan perang. (Paskalis Hanoe)

No comments:

Post a Comment