Sifat-sifat Gereja
Gereja adalah persekutuan
orang-orang yang dipanggil dan dihimpun oleh Allah sendiri, oleh karena itu disadari pula bahwa Gereja adalah suatu persekutuan yang khas. Mulai dari jaman yang langsung menyusu lera rasul, Gereja diyakini mempunyai keempat sifat yaitu:
1. Gereja itu “satu” karena Roh Kudus yang mempersatukan para anggota jemaat satu sama lain, dan
juga dengan kepala jemaat yang kelihatan, yakni uskup; lagi pula mempersatukan para uskup satu
sama lain dengan pusatnya di Roma.
2. Gereja itu “kudus” karena berkat Roh Kudus yang menjiwaiNya, Gereja bersatu dengan Tuhan,satu-satunya yang dari diriNya sendiri kudus.
3, Gereja itu “katolik”, “menyeluruh”, “am” atau “umum” karena tersebar di seluruh dunia sehingga mencakup semua.
4. Gereja itu “apostolik” karena warganya dikatakan “anggota umat Allah” jika bersatu dengan pusat-pusat Gereja yang mengakui diri sebagai tahta para Rasul (apostoloi), seperti Keuskupan Yerusalem (Yakobus), Antiokhia (Petrus), Roma (Petrus), Konstantinopel (Andreas).
Keempat sifat itu memang kait mengait, tetapi tidak merupakan rumus yang siap pakai. Gereja memahaminya dengan merefleksikan dirinya sendiri dengan karya Roh Kudus di dalam dirinya. Gereja itu Ilahi sekaligus insane, berasal dari Yesus dan berkembang dalam sejarah. Gereja itu bersifat dinamis, tidak sekali jadi dan statis, oleh karena itu sifat-sifat Gereja tersebut harus selalu diperjuangkan.
A. Gereja Kristus yang Satu
1. Arti Gereja yang Satu
Gereja yang satu: Gereja yang tampak sebagai perwujudan kehendak tunggal Yesus Kristus untuk dalam Roh Kudus tetap hadir kini di tengah manusia untuk menyelamatkan (LG 8)
Kesatuan Gereja pertama-tama dinyatakan dalam kesatuan iman (lih. Ef 4:3-6) yang mungkin dirumuskandan diungkapkan secara berbeda-beda. Kessatuan juga dalam satu Injil, satu babtisan, dan satu jabatan yang dikaruniakan kepda Petrus dan kedua belas rasul. Kesatuan yang hakiki dan konkret diungkapkan oleh Paulus dalam model “tubuh”: Tubuh itu dibentuk dengan babtis dan diaktualisasikan dengan PrayaanPemecahan Roti (1Kor 10:17).
Kesatuan tidak sama dengan keseragaman sebagai “Bhineka Tunggal Ika”, baik dalam Gereja Katolik sendiri
maupun dalam persekutuan ekumenis, sebab kesatuan Gereja bukanlah semacam kekompakan organisasi
atau kerukunan social. Yang utama bukan soal struktur organisasi yang lebih bersifat lahiriah, tetapi Injil
Kristus yang diwartakan, dirayakan, dan dilaksanakan di dalam hidup sehari-hari.
Kristus memang mengangkat Petrus menjadi katua para rasul, supaya kolegialitas para rasul tetap satu dan
tidak terbagi. Di dalam diri Petrus,
Kristus menetapkan asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan
yang tetap kelihatan. Kesatuan ini tidak boleh dilihat pertama
-
tama secara universal. Tidak hanya Paus
tetapi masing
-
masing uskup (pemimpin Gereja lokal) menjadi asas dan dasar yang kelihat
an dari kesatuan
dalam Gereja.
Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, tetapi pihak lain disadari pula bahwa perwujudan konkret harus
diperjuangkan dan dikembangkan serta disempurnakan terus menerus. Oleh karena itu kesatuan iman
mendorong semua orang Kri
sten supaya mencari “persekutuan” dengan semua saudara seiman.
Singkat kata, Gereja yang satu itu terungkap dalam:
Kesatuan iman para anggotanya: kesatuan iman ini bukan kesatuan yang statis, tetapi kesatuan
yang dinamis.
Iman adala prinsip kesatuan batin
iah Gereja.
Kesatuan dalam pimpinannya (hierarkis): hierarki mempunyai tugas untuk mempersatukan umat.
Hierarki sering dilihat sebagai prinsip kesatuan lahiriah dari Gereja.
Kesatuan dalam kebaktian dan kehidupan sacramental: kebaktian dan sakramen-sakramen
merupakan ekspresi simbolis kesatuan Gereja itu (Ef 4:3-6).
2. Memperjuangkan kesatuan Gereja
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja adalah kesatuan
Allah yang Tunggal dalam tiga pribadi Bapa, Putra dan R
oh Kudus” (UR 2). Tetapi, bagaimana kesatuan Ilahi
itu diwujudkan secara insane, merupakan pertanyaan yang amat besar.
Kenyataannya, perpecahan dan pemisahan terjadi di dalam Gereja. Memang “Allah telah berkenan
menghimpun orang
-
orng yang beriman akan Kris
tus menjadi Umat Allah dan membuat mereka menjadi
satu Tubuh. Tetapi, bagaimana rencana Allah itu dilaksanakan oleh manusia Kristen? Perpecahan dan
keretakan yang terjadi dalam Gereja tentu saja disebabkan oleh perbuatan manusia. Tata susunan sosial
Gereja
yang tampak melambangkan kesatuannya dengan Kristus (GS 44). Tetapi justru struktur sosial itu
sekaligus membedakan (memisahkan) Gereja yang satu dengan yang lain. Umat Kristen kelihatan terpecah
belah, justru karena struktur
-
struktur yang mau menyatakan
kesatuan masing
-
masing kelompok itu. Meski
demikian, hamper semua, kendati melalui aneka cara, mencita
-
citakan satu Gereja yang kelihatan, yang
sungguh bersifat universal dan diutus ke seluruh dunia (UR1). Di satu pihak, diimani bahwa Kristus akan
tetap me
mpersatukan Gereja, tetapi di pihak laindisadari bahwa perwujudan konkret harus berkembang
dan disempurnakan terus
-
menerus. Oleh karena itu, kesatuan iman mendorong umat Kristen supaya
mencari “persekutuan” (communion) dengan semua saudara dalam iman, wala
upun bentuk organisasinya
mungkin masih jauh dari kesatuan sempurna.
Kesatuan Gereja pertama
-
tama harus diwujudkan dalam persekutuan konkret antara umat beriman yang
hidup bersama dalam satu Negara atau daerah yang sama. Tuntutan zaman dan tantangan masya
rakat
merupakan dorongan kuat untuk menggalang kesatuan iman dalam menghadapi tugas bersama. Kesatuan
Gereja terarah kepada kesatuan yang jauh melampaui batas
-
batas Gereja dan terarah kepada semua orang
yang “berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2
Tim 2:22)
Semangat kesatuan harus dipupuk dan diperjuangkan oleh setiap umat Kristen sendiri.
Usaha yang dapat
digalakkan untuk memperkuat persatuan “ke dalam” misalnya:
aktif dalam kehidupan Gereja,
setia dan taat pada persekutuan umat termasuk hierarki
, dsb.
Sedangkan untuk menggalakkan persatuan “antar
-
Gereja” misalnya
lebih bersifat jujur dan terbuka satu sama lain, lebih melihatkan kesamaan daripada perbedaan,
mengadakan berbagai kegiatan sosial maupun peribadatan bersama, dsb.
Kesatuan Gereja tidak
identik dengan uniformitas. Kesatuan Gereja di luar bidang esensial Injili
memungkinkan keanekaragaman. Kesatuan harus lebih tampak dalam keanekaragaman.
B. Gereja Kristus yang Kudus
1. Arti Gereja yang Kudus
Gereja yang kudus berarti Gereja menjadi
perwujudan kehendak Allah yang Mahakudus untuk sekarang
juga mau bersatu dengan manusia dan mempersatukan manusia dalam kekudusanNya (bdk LG 8,39,41 dan
48).
Gereja yang kudus itu dipandang sebagai tanda Gereja yang benar. Bahkan sebelum rumusan Syahadat
d
ikenal, orang telah menyebut Gereja sebagai ‘yang kudus”. Hal itu menentukan sikap terhadap para
pendosa.
Secara obyektif sifat “kudus” berarti bahwa dalam Gereja adalah sarana keselamatan dan rahmat Tuhan di
dunia serta merupakan tanda rahmat yang kudus,
yang akan menang secara definitif pada akhir jaman.
Secara subyektif sifat “kudus” berarti bahwa Gereja tak akan kehabisan tanda dan orang kudus (bdk. Ibr
2:1),
jadi menyangkut kekudusan subyeknya.
jadi menyangkut kekudusan subyeknya.
Ajaran ini dipahami bersama dengan ajaran iman bahwa para
pendosa itupun anggota Gereja sehingga
Gereja tak hanya ada pendosa tetapi adalah pendosa sejauh warganya dan pemukanya memang para
pendosa yang masih berdosa dan akan berdosa. Itulah mengapa Gereja harus senantiasa menguduskan diri
dengan memperbarui ter
us menerus (UR 4:6)
Lalu sifat “kudus” juga berarti bahwa Gereja yang dinodai oleh dosa itu tak akan sebegitu dirusak oleh dosa
sampai Roh Kudus sama sekali meninggalkan Gereja atau tak kelihatan lagi (Mat 16:18). Sebab, Gereja
dijamin Tuhan untuk tak samp
ai kehilangan rahmatNya kendati berdosa. Dan Roh Kudus itu sendirilah yang
akan menjadi jiwa Gereja, sehingga kekudusan tidak tergantung pada anggota Gereja melainkan pada Roh
Kudus yang menjadi sumber kekudusan Gereja. Itulah mengapa St. Paulus berkata “a
tau tidak tahukah
kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari
Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1 Kor 6:19).
Gereja itu kudus karena sumber dari mana ia berasal, karena tujuan ke mana
ia diarahkan, dan karena
unsure
-
unsur Ilahi yang otentik di dalamnya adalah kudus.
Sumber dari mana gereja berasal adalah kudus. Gereja didirikan oleh Kristus. Gereja menerima
kekudusannya dari Kristus atas doa
-
doaNya (lih Yoh 17:11).
Tujuan dan arah Gerej
a dalah kudus.
Ger
eja bertujuan untuk kemuliaan Allah dan penyelamatan
eja bertujuan untuk kemuliaan Allah dan penyelamatan
uma
t manusia
t manusia
Jiwa Gereja adalah kudus, sebab jiwa gereja adalah Roh Kudus sendiri
Unsur
-
unsur Ilahi yang otentik di dalam Gereja adalah kudus, seperti ajaran
-
ajaran dan sakramen
-
sakrame
n
Anggotanya adalah kudus, karena ditandai oleh Kristus melalui pembabtisan dan diserhakan
kepada Kristus serta dipersatukan dalam iman, harapan, dan cinta yang kudus. Semua itu tidak
berarti bahwa anggotanya selalu kudus (suci), namun ada juga yang mencap
ai kekudusan heroik.
Semua dipanggil untuk kekudusan.
2. Memperjuangkan Kekudusan Gereja
Kekudusan Gereja dijelaskan dalam Konstitusi Lumen Gentium. Dikatakan bahwa “Kita mengimani bahwa
Gereja tidak akan kehilangan kesuciannya, sebab, Kristus Putra Allah
, yang bersama dengan Bapa dan Roh
Kudus dipuji bahwa hanya Dialah kudus, mengasihi Gereja sebagai MempelaiNya” (LG 9). Gereja itu kudus
karena kristus, Kepala gereja, membuatnya (anggotanya yang tetap berdosa) kudus.
Kekudusan juga terungkap dengan “anek
a cara pada masing
-
masing orang”. Kekudusan Gereja bukanlah
suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua, melainkan semua mengambil bagian dalam
satu kesucian Gereja, yang berasal dari Kristus, yang mengikut sertakan Gereja dalam GerakanNya ke
pada
Bapa ole Roh Kudus. Pada taraf misteri Ilahi, Gereja sudah suci: “Di dunia ini, Gereja sudah ditandai oleh
kesucian yang sesungguhnya, meskipun belum sempurna” (LG 48). Ketidaksempurnaan ini menyangkut
pelaksanaan insani, sama seperti kesatuannya
Dal
am hal kekudusan yang pokok bukan bentuk pelaksanaannya, melainkan sikap dasarnya. Kudus diartikan
sebagai “yang dikuduskan Tuhan”. Jadi, pertama
-
tama “kudus” itu menyangkut seluruh bidang sacral dan
keagamaan. Yang suci bukan hanya tempat, waktu, barang y
ang dikuduskan Tuhan atau orang, tetapi yang
kudus itu Tuhan sendiri. Semua yang lain, barang maupun orang yang disebut “kudus” karena termasuk
lingkup kehidupan Tuhan
Kekudusan tidak datang dari Gereja, tetapi dari Allah yang mempersatukan Gereja dengan
Kristus dalam
Roh Kudus. Gereja disebut kudus karena Kristus sebagai kepala menguduskan anggotaNya. Jadi, kekudusan
Gereja tidak terutama diartikan secara moral, tetapi secara teologial, meyangkut keberadaan dalam lingkup
hidup Allah. Anggota Gereja adalah
“orang kudus” yang dipanggil untuk hidup secara kudus di tengah
-
tengah dunia yang tidak mengindahkan Yang Mahakudus. Gereja adalah milik Allah (1Ptr 2:9) dan
karenanya kehendak Ilahi harus ditaati di dalam Gereja dan oleh anggotanya.
Usaha yang dapat dip
erjuangkan menyangkut kekudusan anggota
-
anggota Gereja, misalnya:
saling memberi kesaksian untuk hidup sebagai putra
-
putri Allah
memperkenalkan anggota
-
anggota Gereja yang sudah hidup secara heroic untuk mencapai
kekudusan
merenungkan dan mendalami Kitab
Suci, khususnya ajaran dan hidup Yesus, yang merupakan
pedoman dan arah hidup kita, dsb
C. Gereja yang Katolik
1. Arti dan Makna Gereja yang Katolik
Secara harafiah, kata “katolik” menunjukkan Gereja yang berkembang “di seluruh dunia”.
Memang benar,
Gere
ja tersebar ke mana
-
mana, namun tidak benar bahwa tidak ada tempat yang tidak ada Gereja. Dalam
bahasa Yunani “katolik” berarti menyeluruh atau umum. Ignatius dari Antiokhia yang pertama kali
menggunakan istilah ini, mengatakan bahwa “di mana ada uskup, di
situ ada jemaat, seperti di mana ada
Kristus, di situ ada Gereja “katolik”. Hai ini mau mengatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi, yang dipimpin
oleh uskup, hadir bukan hanya untuk jemaat setempat tatapi juga selurug Gereja. Jadi, gagasan pokok
bukanlah ba
hwa Gereja telah tersebar ke seuruh dunia, melainkan bahwa dalam setiap jemaat setempat
hadirlah Gereja seluruhnya.
Gereja selalu lengkap atau penuh, artinya tidak ada Gereja setengah
-
setengah atau sebagian. Gereja
setempat (paroki, stasi) bukanlah “caban
g” Gereja universal. Setiap Gereja setempat, bahkan setiap
perkumpulan orang beriman yang sah, merupakan seluruh Gereja.
Selanjutnya, kata “katolik” dipakai untuk menyebut Gereja yang benar, Gereja universal yang dilawankan
dengan sekte
-
sekte
. Kata katolik
. Kata katolik
tidak hanya mempunyai arti geografis (tersebar ke seluruh dunia), tetapi
juga “menyeluruh”, dalam arti “lengkap” berkaitan dengan ajarannya, serta “terbuka” dalam arti tertuju
kepada siapa saja.
Pada jaman Reformasi, kata “katolik” muncul lagi untuk membe
dakan dengan Gereja
-
gereja Protestan.
Sejak itu, kata “katolik” secara khusus dimaksudkan umat Kristen yang mengakui Paus sebagai pemimpin
Gereja universal.
Dalam syahadat kata “katolik” masih mempunyai arti “universal” atau “umum”. Ternyata “universal”
pun
mempunyai dua arti, yang kuantitatif dan kualitatif:
Segi kuantitatif adalah faktor geografis, yang mana memperoleh warganya dari semua bangsa dan hidup di
tengah segala bangsa. Gereja sebagai sakramen Roh Kudus mempunyai pengaruh dan daya pengudus ya
ng
tidak terbatas pada anggota Gereja saja, melainkan juga terarah pada dunia. Dengan sifat katolik ini
dimaksudkan bahwa Gereja mampu mengatasi keterbatasannya sendiri untuk berkiprah ke seluruh dunia.
Segi kualitatif, karena ajarannya dapat diwartakan kepada segenap bangsa dan segala harta kekayaan
bangsa
-
bangsa dapat ditampungnya sejauh itu baik dan luhur. Gereja terbuka, menampung dan
memajukan terhadap segenap kemampuan, kekayaan, dan adat istiadat b
angsa
-
bangsa. Tidak hanya
menampung dan menerima saja melainkan juga menjiwai seluruh dunia. Yang hadir di mana
-
mana serta
mengangkat segala kekayaan umat manusia sesungguhnya bukan Gereja melainkan Roh yang berkarya
dalam dan melalui Gereja. Dalam hal ini
tidak ada sesuatu pun yang tidak diterima Gereja.
Singkatnya, Gereja bersifat katolik karena terbuka bagi dunia, tidak sebatas pada tempat tertentu, bangsa
dan kebudayaan tertentu, waktu dan golongan masyarakat tertentu.
Kekatolikan Gereja tampak dalam:
rahmat dan keselamatan yang ditawarkan,
iman dan ajaran Gereja yang bersifat umum (dapat diterima dan dihayati siapapun)
2. Mewujudkan kekatolikan Gereja
Gereja bersifat universal, umum dan terbuka. Oleh sebab itu perlu diusahakan antara lain
Sikap terbu
ka dan menghormati kebudayaan, adat istiadat bahkan agama bangsa manapun.
Bekerja sama dengan pihak mana saja yang berkehndak baik dalam mewujudkan nilai
-
nilai yang luhur di
dunia ini.
Selalu berusaha untuk memprakarsai dan memperjuangkan suatu dunia yang
baik untuk umat manusia.
Untuk setiap orang kristiani diharapkan memiliki jiwa yang besar dan keterlibatan penuh dalam kehidupan
masyarakat, sehingga dapat member kesaksian bahwa “katolik” artinya terbuka untuk apa saja yang baik
dan siapa saja yang berke
hendak baik.
Kekatolikan Gereja tidak berarti bahwa Gereja meleburkan diri kedalam dunia. Dalam keterbukaan itu,
Gereja tetap mempertahankan identitas dirinya. Kekatolikan justru terbukti dengan kenyataan bahwa
identitas Gereja tidak tergantung pada bentuk
lahiriah tertentu, melainkan identitas yang bersifat dinamis,
yang selalu di mana
-
mana dapat mempertahankan diri, bagaimanapun juga bentuk pelaksanaannya.
Kekatolikan Gereja bersumber dari firman Tuhan sendiri (lih. Mrk 16:16; Luk 10:16)
D. Gereja yang A
postolik
1. Arti Gereja yang apostolik
Apostolik berasal dari kata Yunani, “ApostellO” (mengutus, menguasakan) yang berate utusan, suruhan,
wakil resmi yang diserahi misi tertentu. Kata “apostolic” kemudian dipaki untuk menyebut para rasul.
Gereja yang a
postolik berarti bahwa Gereja yang berasal dari para rasul, dan tetao berpegang teguh pada
kesaksian iman mereka. Kesadaran bahwa Gereja dibangun atas dasar para rasul dengan Kristus ebagai
batu penjuru, sudah ada sejak jaman Gereja perdana.
Gereja katolik
dalam hubungan dengan para rasul lebih mementingkan pewartaan lisan, memusatkan
perhatian pada hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan para pengganti mereka, yakni para
uskup. Hubungan ini tidak boleh dilihat semacam “estafet”, yang di dal
amnya ajaran yang benar bagaikan
sebuah tongkat dari rasul
-
rasul tertentu diteruskan sampai kepada uskup sekarang. Yang disebut apostolik
bukanlah para uskup, melainkan Gereja. Hubungan historis ini pertama
-
tama menyangkut seluruh Gereja
dalam segala bidan
g dan pelayanannya.
Gereja bersifat apostolik berarti Gereja mengakui diri sama dengan Gereja Perdana, yakni Gereja para
rasul. Hubungan historis ini tidak dimengerti sebagai pergantian orang, melainkan segala kelangsungan
iman dan pengakuan.
Sifat apost
olik juga tidak berarti bahwa Gereja hanya mengulang
-
ulang apa yang sejak dahulu diajarkan dan
dilakukan Gereja. Keapostolikannya berarti bahwa dalam perkembangan hidup, tergerak oleh Roh Kudus,
dan Gereja senatiasa berpegang pada Gereja para rasul sebagai
norma imannya. Gereja selalu membaharui
dan menyegarkan dirinya. Sifat apostolik harus mencegah Gereja dari rutinisme yang bersifat ikut
-
ikutan.
Dalam hal ini, seluruh Gereja tidak hanya bertanggung jawab atas ajaran Gereja, tetapi juga dalam
pelayanannya
.
Singkatnya, Gereja disebut apostolic karena Gereja berhubungan dengan para rasul yang diutus Kristus.
Hubungan itu tampak dalam:
Legimitasi fungsi dan kuasa hierarki dari para rasul. Fungsi dan kuasa hierarki dari para rasul.
Ajaran
-
ajaran Gereja
diturunkan dan berasal dari kesaksian para rasul
Ibadat dan struktur Gereja pada dasarnya berasal dari para rasul.
2. Mewujudkan keapostolikan Gereja
Keapostolikan Gereja tidak berarti Gereja sekarang hanya merupakan copyan dari Gereja para rasul.
Gereja
sekrang hanya terarah kepada gereja para rasul sebagai dasar dan permulaan imannya. Karena pewartaan
para rasul dan penghayatan iman mereka terungkap dalam Kitab Suci, maka sifat keapostolikan gereja akan
tampak terutama dalam kesetiaan kepada Injil. Kesat
uan dengan Gereja purba adalah kesatuan hidup, yang
pusatnya adaah Kitab Suci dan Tradisi. Secara konkret, tradisi selalu merupakan konfrontasi terus
-
menerus
antara situasi gereja sepanjang masa dan pewartaan Kitab Suci. Gereja harus senantiasa menafsirkan
dan
mengevaluasi situasi konkret berpangkal pada sikap iman Gereja para rasul.
Jadi usaha untuk keapostolikan Gereja, antara lain:
Setia dan mempelajari Injil, sebab Injil merupakan iman Gereja para rasul.
Menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret den
gan iman Gereja para rasul
Setia dan loyal kepada hiararki sebagai pengganti para rasul
SIFAT GEREJA
1.Gereja yang Satu
Satu dalam 3 pribadi Bapa, Putra dan Roh kudus (Ef 4:3
-
6 )
Terungkap dalam :
-
Kesatuan iman para anggotanya
-
Kesatuan dalam pimpina
nnya yaitu Hierarki
-
Kesatuan dalam kebaktian dan kehidupan
sakramental
2.Gereja yang Kudus
Karena sumber dimana Ia berasal, karena tujuan kemana ia diarahkan, dan karena unsur
-
unsur ilahi
yang atentik yang ada di dalamnya adalah Kudus.
3.Gereja yang Ka
tholik
Dalam gereja selalu di dalamnya terdapat Kristus, oleh sebab itu disebut gereja yang Katolik dan
yang dipersatukan dengan Tubuh Kristus.
Terbuka bagi Dunia, tidak terbatas pada tempat tertentu, bangsa, dan kebudayaan tertentu, serta
waktu atau golon
gan tertentu.
4.Gereja yang Apostolik
Karena didirakan atas para Rasul dan di bangun atas para Rasul dan para Nabi
Ia akan tetap di ajarkan, dikuduskan dan di bimbing oleh para Rasul sampai pada saat datangnya
kembali Kristus.
Hubungan Apostolik dengan
para Rasul :
Legitimasi fungsi di kuasa hierarki dari para rasul]
Ajaran
-
ajaran Gereja di turunkan dan berasal dari kesaksian para rasul
Ibadat dan Struktur gereja pada dasarnya berasal dari pa
No comments:
Post a Comment